4 Sifat atau Kebiasaan Gamers Zaman Now yang Perlu Kamu Hindari

angry gamer

Ketika pertamakali mengenal komunitas video game, kamu tentu seneng dong karena bisa ketemu orang-orang sehobi yang bicarain atau debatin video game yang kamu suka. Apalagi kalau banyak diisi oleh orang-orang yang ramah dan suka menolong. Komunitas positif ini pernah terjadi di Indonesia, khususnya kamu yang mungkin pernah mengenal atau merasakan nikmatnya komunitas Ragnarok Online Indonesia dulu yang banyak berisi orang yang suka bantu satu sama lain. Bahkan mereka bisa ketemu belahan hatinya sampai pelaminan berkat komunitas yang baik tersebut.

Namun sayang, tak selamanya komunitas video game diisi oleh orang-orang baik saja. Perkembangan video game sayangnya juga bawa “orang-orang jahat” dengan sifat atau kebiasaan buruknya yang mulai menjamur di komunitas, tak ketinggalan juga di Indonesia. Kebiasaan ini umumnya sangat mengganggu dan berikan citra buruk pada komunitas video game. Apa saja sifat atau kebiasaan tersebut? Saya telah merangkumnya sebagai berikut.

1. Toxic

Pribadi toxic merupakan pribadi dimana seorang individu menjadi orang yang suka mementingkan ego, mengumpat, sok hebat/sombong atau memarahi orang lain dengan teriak-teriak, khususnya saat voice chat, namun pada kenyataannya justru dia yang jadi beban tim. Masalah ini memang sudah ada dari dulu, namun semakin menguat di zaman sekarang dengan semakin banyaknya gamer baru atau anak kecil yang baru mengenal video game. Selain menjengkelkan, player toxic terkadang membuat suasana tim atau komunitas menjadi tak kondusif. Mereka lebih terkesan memberikan pressure yang sia-sia bagi player lain karena kebanyakan dari mereka pengen menang, tapi bagai tong kosong nyaring bunyinya.

Memang, tidak semua player toxic “tong kosong nyaring bunyinya”, namun meskipun kamu jago sekalipun kalau kamu miliki pribadi yang buruk, suka mengolok-olok, dan mengganggu player lain, tentunya kamu bakal dihindari oleh siapapun yang ingin bekerjasama denganmu. Sudah banyak player professional yang akhirnya harus berhenti dari karir video gamenya dan dikeluarkan dari tim dan manajemennya karena kebiasaan buruk tersebut. Kamu tentu tidak ingin menjadi seperti mereka bukan?

Kebiasaan buruk ini perlu dihindari atau setidaknya diredam untuk memberikan kondisi permainan yang kondusif. Kamu yang mungkin saat ini masih toxic berat perlu belajar sedikit demi sedikit untuk menghilangkan kebiasaan tersebut. Kamu juga harus sadar bahwa mau marah seperti apapun pada player lain, mereka ngga akan bisa berubah 360 derajat menjadi lebih baik saat itu juga. Lebih bagus lagi kamu ngajarin mereka, muji mereka, anggap aja masih belajar. Atau, kalo kamu ngga tahan sama orang-orang seperti mereka yang masih newbie dan mungkin ngga mau berkembang, kamu bisa main sama teman-temanmu yang punya kemampuan kurang lebih sama denganmu. Kamu ngga punya teman? Bisa nyari di komunitas, main bareng, siapa tau cocok bisa main satu tim terus. Atau malah jadi jodohmu di masa depan? Who knows?

2. Fanboy

Saya pernah menulis kenapa fanboy itu merupakan sifat buruk yang perlu kamu hindarin di dunia video game. Singkatnya, fanboy itu 11-12 dengan toxic, bedanya mereka lebih menjadi pembela buta dari suatu produk, menganggap produk yang digemarinya adalah produk paling yahud sejagat. Kenapa saya bilang 11-12? Karena mereka sama-sama miliki argumen dan sifat yang “nyaris mendekati toxic”.

Maksud saya dengan “nyaris toxic”, selain kalau berdebat ngga mau kalah, mereka ngga segan untuk mengolok, mengumpat, dan berikan ujaran kebencian lain pada orang atau kelompok yang mungkin sengaja atau tak sengaja “menjelekkan” produk atau orang yang dipujanya atau menurutnya terbaik. Misalnya, kamu fanboynya Gabe Newell / Gaben dan produknya (Valve & Steam). Maka kamu akan tolak semua argumen yang sebenarnya benar namun “seolah bersimpangan” dengan Gaben dan produknya. Kamu akan bela mati-matian sampe sok tau atau cuman modal Wikipedia dan ngga sadar kamu bahkan gapernah tau sejarahnya Steam atau bossnya Valve itu sendiri. Segala cara akan kamu lakukan, bahkan meski harus caci maki yang berpendapat tersebut.

Kamu bisa hindarin sifat ini atau setidaknya meredamnya dan berusaha tobat dari sifat ini dengan cara lebih open-minded. Kesalahan gamers zaman now itu ngga mau baca apapun itu baik artikel maupun penjelasan, baca cuman setengah-setengah, baca judulnya aja terus seolah jadi orang pro yang paling tau semuanya. Ini juga salah satu pemicu “kebodohan” fanboy saat berdebat di media online maupun dunia nyata. Dengan baca dan tau sisi lain yang berbeda dari produk atau tokoh yang kamu puja, plus tahu produk lain yang dibandingkan dan diperdebatkan, maka kamu bisa lebih open-minded dan menerima pendapat orang lain karena memang benar adanya alias kalian sama-sama tau. Bahkan kamu bisa jadi “orang bijak” yang tau apa yang harus kamu lakukan saat perdebatan tersebut. Kapan harus ngga kepancing ego buat “nyolot” karena bakal memperburuk kondisi, atau kapan kamu harus “mengalah” karena dia atau mereka ternyata lebih fanboy dari apa yang kamu kira sebelumnya.

3. Thrower


Pernah ngga kamu main game multiplayer kompetitif kayak Dota 2, Overwatch, Rainbow Six Siege, atau Paladins, tapi ada temen satu tim-mu yang tiba-tiba ngambek gamau main bener cuman karena hal sepele seperti hero atau class favoritnya dipake orang lain misalnya? Nah orang kayak gitu biasa disebut “Thrower”.

Thrower menurut saya adalah sifat paling kekanakan yang pernah saya temui selama bertahun-tahun bermain game online kompetitif (dammit saya udah tua). Iya, saya tau kamu cuman bisa hero atau class itu saja, tapi kamu main multiplayer kompetitif tujuannya pengen menang ‘kan? Kalo harus disalahkan, jelas kesalahan ada pada kamu yang cuman fokus bisa satu hero atau class saja.


https://www.youtube.com/watch?v=8F1IWVLPPgQ


Saya tau, mungkin kamu jago mainin Kinessa bisa full charge headshot terus, bisa lari bareng payload sambil ngincar musuh tanpa miss dapet top play terus. Atau mainin Genji kayak Shadder2K atau Seagull, yang tiap keluarin Dragonsword bisa team kill alias bantai semua musuh tanpa kecuali. Tapi, di game kompetitif kayak gini kamu diwajibkan “bisa” semua hero atau class. Maksud saya dengan “bisa”, kamu ngga perlu jago, yang penting bisa maininnya, gimana harus aim, kapan harus ngeluarin skill stun, spot mana aja yang bisa kamu manfaatin, kombinasi “item standar” mana yang perlu, dsb. Kalo kamu “bisa” nyaris semua class atau hero, maka kamu bisa hindari kebiasaan throwing tersebut cuman karena hal sepele.

Lalu, bagaimana kalau bukan karena satu class atau hero yang diambil orang lain, tapi lebih karena timnya? Jawabannya ya, adaptasi. Tapi, kalo ngga bisa adaptasi dan timnya ngga bisa apa-apa juga bukan berarti kamu harus patah semangat, gunakan semua cara yang ada hingga sampai batas kemampuanmu. Kalau perlu carry deh tim-mu, itupun kalau kamu bisa. Apakah hal tersebut bisa buat kamu dan tim-mu menang? Belum tentu, tapi, bukankah video game lebih seru dinikmati dengan berusaha sampe batas dibanding harus menyerah sebelum berusaha, atau menyerah di tengah jalan? Kalah? Ya seperti sifat alami video game, kalah coba lagi sampe menang. Stress kalah terus? Introspeksi diri liat salahmu yang mana, perbaiki, istirahat atau maen game lain, lalu coba lagi.

4. Elitisme / Elitist


Mirip seperti Fanboy dan Toxic. Mereka miliki salah satu sifat childish paling sampah yang pernah saya temui: sombong tingkat dewa. Saya katakan mirip dengan fanboy dan toxic, karena mereka sama-sama “memuja” suatu produk atau hebat dalam video game, tapi lebih atas dasar kesombongan. Mereka menganggap game dan platform yang mereka puja atau skill mereka adalah yang terbaik, paling elit, tingkat atas dibanding platform dan game yang sejenis atau player “biasa” lain. Kalau diibaratkan dengan hotel, pujaan dan skill mereka bintang 5 dan produk atau skill player lain masih sekelas losmen.

Mereka juga tak segan buat memaki player atau produk lain yang mirip dengan mereka atau produk pujaan mereka. “Najis, apaan kayak gini disamain sama Dark Souls/DotA 2? Jauh c*k! Udah, plis jangan kasih liat lagi, jijik gua baca deskripsinya, berasa mau muntah.”, “Oi kampr*t, maen yang bener dong! Tinggal capture aja susah amat! Dasar beban! Kalo ga ada gua lu bisa apa?!” kira-kira seperti itulah jika kamu menemukan seorang elitist.

Definisi Video Game Elitis menurut Urban Dictionary

Orang yang miliki sifat elitism atau biasa disebut dengan elitist adalah seseorang yang hidup dalam kebohongan akan dirinya sendiri. Pada akhirnya rasa bangga tersebut ada hanya karena kesombongannya sendiri. Jangan salah, menjadi fans produk atau punya skill yang hebat di video game memang sangat membanggakan. Tapi apakah hal tersebut layak disombongkan sampai mati? Just stop it, ngga ada manfaatnya sama sekali. Jadilah orang baik, main video game buat senang-senang, anggap kalau kamu hebat di video game adalah emang karena kamu jago aja maen video game. Anggap produk hebatmu itu memang karena pas dan sesuai dengan standar seleramu, ngga lebih.

Kamu harus sadari bahwa sama seperti film dan lagu, industri kreatif seperti video game miliki banyak hal yang “mirip”, namun terus dimodifikasi sedemikian rupa agar berbeda dari produk lain. Karena kalau tidak seperti itu, maka industri tersebut takkan berkembang dan tetap stagnan sampai kapanpun. Video game ada untuk bersenang-senang, memang terkadang bisa jadi sangat kompetitif, namun jadikanlah kompetisi tersebut menjadi kompetisi yang sehat dan menyenangkan.

Sifat ini “mungkin” bisa sembuh kalo kamu mau menjadi orang open-minded dan mau menerima semua perbedaan yang ada. Saya katakan “mungkin” karena kembali pada dirimu masing-masing. Menjadi orang yang open-minded akan hantarkamu menjadi pribadi yang bisa menghargai orang lain tanpa membeda-bedakan status atau kemampuanmu. Dan mungkin saja sifat open-mindedmu nanti akan berikanmu timbal balik yang baik dari komunitas video game, who knows?


Keempat sifat atau kebiasaan di atas adalah sifat yang sudah ada dari dulu dan paling banyak saya temui menjangkiti gamer zaman now, khususnya gamer Indonesia. Hal tersebut harus kamu hindari atau paling tidak kamu “redam” agar membuat suasana komunitas dan tim menjadi lebih kondusif. Bukannya enak kalau main game atu kunjungi komunitas game tanpa ada “prasangka buruk” dari tiap playernya?

Kita bermain video game karena hobi, untuk melepas lelah karena capek bekerja/sekolah/kuliah, atau memang kita sangat menyukai video game. Bukan menambah stress atau emosi karena komunitasnya yang diisi oleh orang-orang brengsek dengan kebiasaan seperti yang saya tuliskan di atas. Debat boleh, bodoh jangan, main game boleh, ganggu orang lain jangan.


Kalo kamu bisa menjaganya mungkin aja kamu bisa main sportif di beberapa match seperti video tim profesional esports di atas.

Merasa jago di game kompetitif? Bantuin tim-mu biar menang, semangati juga biar lebih baik, bukannya ngoceh nyalahin si A begini, si B begitu. Gabisa dibilangin? Yaudah pasrah main sampe batasmu jangan nyerah. Kamu belom cukup jago? Shut up and learn, be a nice guy/girl tanya sama orang kalo ngga ngerti itu jauh lebih baik dari pada ngebacot gajelas. Sesimple itu sebenarnya untuk menanggulanginya. Tapi ya memang, praktek lebih susah dari cocot saya, maksud saya tulisan saya, jadi saya cuman bisa bilang, “Semua butuh proses”. Karena semua balik ke dirimu masing-masing, termasuk saya kalo mungkin saya juga lakukan hal yang sama seperti di atas yang beruntungnya “sudah lumayan tobat”.

Sebenarnya masih banyak sifat lain seperti bullying, trolling, atau pelecehan terhadap wanita di video game. Namun sejauh yang saya ketahui dan perhatikan, di Indonesia beberapa sifat dan kebiasaan tersebut ngga se-intense seperti empat sifat yang saya tuliskan di atas. Atau, mungkin kamu punya pengetahuan lebih dan bisa tambahkan sifat atau kebiasaan gamer lain yang bikin garuk kepala dan perlu dihindari? Kalo ada, bolehlah ditambahkan di komentar. Kita saling berbagi dan jauhi sifat buruk tersebut, bukankah kita hobi bermain video game karena suka dengan video game tersebut dan untuk bersenang-senang?

contact: akbar@gamebrott.com

Exit mobile version