Disclaimer: “Sedikit” di sini sangat obyektif, mungkin alasan yang kami berikan dengan yang kamu rasakan, alami, dan perhatikan sendiri berbeda.
Kita tahu teknologi video game semakin berkembang dari masa ke masa, perkembangan yang pesat tersebut dibuktikan dengan adanya sistem gameplay baru seperti VR, in-game footage cinematic, detil model 3D dengan ratusan hingga ribuan polygon, grafik yang semakin realistis, dan yang lainnya. Berkembangnya teknologi tidak sertamerta membuat video game akan bertahan lama dari tahun ke tahun, karena setiap tahun akan muncul judul video game baru baik video game indie maupun AAA dengan kualitas dan inovasi yang lebih baik dari pendahulunya.
Tidak hanya dari segi inovasi saja, perkembangan ini juga dirasakan dari segi bisnis. Semakin banyaknya peminat video game, maka permintaan akan video game dengan judul, tema, dan gameplay yang lebih menarik akan semakin banyak. Tentunya hal ini sangat menggiurkan dari segi bisnis, lihat saja contoh beberapa video game populer seperti Battlefield, Call of Duty, Dark Souls, Final Fantasy, atau The Witcher yang berhasil menjual ratusan ribu hingga jutaan kopi beberapa bulan setelah gamenya dirilis. Munculnya game online PC dengan dasar bisnis subscription maupun free to play dengan item mall membuat stereotipe video game tidak hanya bisa dinikmati oleh mereka yang berduit saja, namun mereka yang ingin memainkannya dengan cuma-cuma juga bisa menikmatinya.
Mendapat sinyal positif dari bisnis ini, muncullah publisher-publisher video game baru yang ingin ikut “mencicipi” manisnya bisnis video game ini, tak terkecuali Indonesia. Banyak publisher yang membuktikan kesuksesannya dari tahun ke tahun melalui bisnis video game. Namun sayang, tidak semua publisher mampu mempertahankan service video game sampai puluhan tahun kedepan, terlebih game online PC yang bakal ketinggalan zaman seiring berkembangnya teknologi video game. Menjadikan pemain setia atau fanbase game online satu per satu meninggalkan game online yang dicintainya dulu. Hal ini membuat publisher harus putar otak dengan mengimpor judul game online baru atau melakukan cara yang terkadang cukup membuat jengkel fanbase lamanya, rebranding atau branding ulang demi tetap bertahan hidup di bisnis ini. Sayang, kadang hal itu tidak berjalan mulus dan justru memberikan efek sebaliknya, yaitu semakin menurunkan peminat game online. Di Indonesia sendiri, sepinya peminat membuat satu per satu publisher game online lokal menutup servisnya. Tak sedikit publisher game online lokal yang akhirnya gulung tikar tidak mampu bertahan karena sepinya peminat. Lalu, apa yang sebenarnya membuat game online lokal semakin menurun peminatnya? Berikut kami berikan segelintir alasannya:
Daftar isi
1. Banyak Cheater
Bukan hal baru lagi jika munculnya cheater membuat persaingan di game online menjadi tidak sehat. Terlebih di game-game yang mementingkan kompetisi seperti game FPS, sebut saja Point Blank, atau Black Squad. Dalam game-game tersebut cheater kerap kali melakukan cara curang seperti wallhacking, infinite ammo, aimbot, atau yang paling parah one hit kill.
Belum lagi penanganan cheater dari publisher yang terkesan lambat membuat game online semakin ditinggalkan oleh para pemainnya yang loyal dan selalu mendukung game online besutan publisher tersebut dengan membeli item mall, subscription, atau yang lain.
2. Servis dan Model Bisnis Publisher yang Buruk
Pelayanan dan model bisnis publisher juga kerap kali membuat para player game online gratis jengkel. Beberapa game online lokal menjual item mall peningkat EXP dengan harga yang cukup mahal. Belum lagi item mahal ini kadang memiliki efek yang tidak masuk akal dan membuat permainan tidak balance. Player yang memiliki uang bisa mendapatkan servis yang lebih baik dibanding player yang tidak membelinya. Membuat publisher seolah menjadi “seseorang” yang tamak akan uang, ibaratnya seperti “Ada uang kita sayang, ngga ada uang silakan menderita”.
Penanganan troubleshooting publisher juga kadang tidak memberikan solusi yang tepat, bahkan penanganan cheater terkesan super lambat karena publisher tidak memiliki tim khusus untuk mengupdate GameGuard yang diberikan. Mereka harusnya bisa memberikan kedua service tersebut dengan baik, berikan balance dari penikmat item mall dan non-penikmat item mall, dengan begitu permainan akan terasa lebih seimbang, terlebih jika game online yang ditangani adalah game online kompetitif seperti game FPS. Dengan servis dan model bisnis publisher yang seperti ini, tidak jarang membuat peminat game online lokal kabur ke game lain atau stop total memainkan game lokal besutan publisher tersebut.
3. Game yang Diimpor Ketinggalan Jaman
Sama seperti yang telah saya tulis sebelumnya, game online PC tidak akan mampu bertahan lama puluhan tahun karena teknologi video game akan terus berkembang kedepannya. Parahnya, kadang publisher lokal tak jarang mengimpor game yang harusnya mereka impor 5 atau 10 tahun yang lalu. Mereka juga kadang masih mempertahankan game yang harusnya sudah mereka ganti dengan game lain yang lebih baik dari game mereka sekarang.
Oke, mungkin alasan tidak semua warnet game online lokal atau gamer memiliki spesifikasi menengah atau tinggi masih bisa diterima, tapi bukan berarti publisher harus tetap bertahan di game online lama bukan? Dengan game online baru dengan spesifikasi yang sedikit lebih tinggi dan tentunya dengan gameplay yang lebih menarik bisa saja mendatangkan pemain yang lebih banyak. Apalagi jika game tersebut populer di kalangan gamer, bisa saja warnet game online bakal berbenah diri mengupgrade PC jadul mereka menjadi setingkat lebih tinggi dari spesifikasi lama. Tidak ada salahnya berkembang dan move-on dengan melisensi game online baru yang lebih baik bukan? Apakah tahun 2020 gamer masih mau bertahan dengan LineAge 2 atau PointBlank? Kalau saya pribadi sih ogah.
4. Kalah Saing dengan Game Berbayar dan Game Free-to-Play Luar Negeri
Populernya Steam dengan game free-to-play DOTA 2 dan game berbayar Counter Strike Global Offensive di gamer lokal masa kini tentunya menjadi pukulan telak bagi publisher game online lokal. Terlebih Valve sebagai pemilik Steam dan kedua game tersebut mampu memberikan service yang lebih baik dari publisher lokal. Apalagi dengan turnamen dunia yang mereka selenggarakan dengan hadiah milyaran rupiah. Hal ini membuat gamer lokal pindah memainkan salah satu dari kedua game tersebut dibanding harus memainkan game online lokal.
Beberapa game online free-to-play dengan gameplay dan service yang lebih baik juga menjadi alasan beberapa gamer lokal berpindah memainkannya, sebut saja Warframe atau Black Desert Online. Belum lagi, server game-game online tersebut banyak yang sudah ada di negara tetangga Singapura, membuat masalah konektivitas ping menjadi tidak ada masalah lagi bagi gamer lokal karena dekatnya letak geografis Indonesia dengan Singapura.
Gempuran publisher game berbayar ternama seperti Rockstar dengan Grand Theft Auto V Online, hingga developer dan publisher kawakan Blizzard dengan Overwatch yang memberikan pengalaman gameplay yang jauh lebih baik dari game yang diimpor publisher game online lokal saat ini membuat banyak gamer lebih memilih untuk membeli dan memainkannya. Harga sudah bukan masalah, karena setiap tahun mereka pasti mengadakan diskon. Sementara komunitasnya tidak terbatas hanya dari Indonesia saja, namun seluruh dunia, membuat game berbayar dan game online free-to-play luar negeri menjadi salah satu favorit gamer lokal.
5. Berkembangnya Industri Game Mobile yang Lebih Menjanjikan
Munculnya smartphone seperti Android dan iPhone dengan game gratisnya juga membuat banyak gamer lokal berpindah memainkannya. Saat ini game mobile memang menjadi primadona di kalangan pemilik smartphone, pemainnya pun lebih global karena yang bukan gamer PC maupun console sekalipun ikut memainkannya. Tentunya pasar mobile game jauh lebih luas dan laris dibanding game online PC yang harus membutuhkan PC dengan harga yang cukup mahal untuk memainkan sebuah judul game online. Pasar ini mulai banyak dilirik publisher game lokal karena dianggap lebih menjanjikan dari segi bisnis. Bahkan publisher game online lokal ada yang sudah terjun ke bisnis ini, sebut saja PT. Qeon Interactive yang telah merilis Final Odyssey di Google Play.
Maraknya game mobile ini tak jarang membuat publisher game online lokal berpindah fokus untuk ikut “mencicipi”-nya. Akibatnya, service game online yang mereka tekuni sejak lama menjadi sedikit terbengkalai. Hal ini membuat game online mereka semakin sepi peminat, bagaimana tidak? Siapa yang mau memainkan game jadul dengan service kurang memuaskan dan seolah tidak diurusi, belum lagi game “sebelah” (baca: mobile) lebih menarik. Kalau dipikir secara rasional, mending pindah game “sebelah”, ya nggak?
Jujur, saya pribadi lebih menikmati game berbayar dibanding game online gratis lokal. Bukan karena saya membencinya, namun karena game, pelayanan, dan harga yang mereka berikan benar-benar setimpal. Game berbayar juga kebanyakan lebih berkembang dan menarik dari berbagai aspek, dibanding game yang diimpor publisher lokal yang harusnya memang mereka impor beberapa tahun yang lalu.
Kelima alasan tersebut merupakan sedikit dari banyak alasan yang kami temukan dan rasakan sendiri secara nyata. Apakah kamu punya alasan lain kenapa game online lokal sedikit peminat? Kamu bisa membaginya di komentar.