Dengan video game telah eksis selama beberapa dekade, wajar apabila studio lama ingin mengingatkan kembali para gamer tua akan masa-masa sederhananya. Namun bagaimana jika kenangan tersebut menjadi satu-satunya selling point yang kamu miliki?
Pada list kali ini, kami akan membicarakan beberapa studio yang mulai bergantung pada nostalgia dari franchise ataupun keberhasilan lama mereka. Beberapa masih menjadi produk yang kompeten, namun beberapa juga hanyalah nostalgia-bait penuh dengan vibe “ingat ini nggak?”
Berikut 7 studio game yang mulai bergantung pada nostalgia:
Daftar isi
1. Natsume
Ketika game lain mencoba memberikan gameplay menyenangkan lewat aksi, kekerasan, dan objektif jelas, Harvest Moon justru memberikan kebalikan dari semua itu. Game ini tawarkan gameplay yang nagih dengan tawarkan pengalaman yang tenang dan santai. Dibalik kesuksesan franchise ini, Natsume sering mendapatkan pujian dan banyak yang mengira mereka yang membuat game karena logo studio mereka menjadi yang pertama muncul saat game diluncurkan, namun kenyataannya ialah Marvelous ialah tokoh jenius dibalik kesukesan game tersebut.
Setelah Marvelous cabut dan membangun spiritual successor sendiri berjudul Story of Seasons, Natsume terpaksa mencari studio baru untuk melanjutkan franchise andalan mereka, dan disini terbukti betapa besarnya peran Marvelous selama bertahun-tahun. Semua game Harvest Moon usai pisahnya Marvelous sangatlah jauh dari kualitas yang diekspektasi fans. Gameplay tetaplah sama namun identitas terkesan berbeda dan presentasi terlihat amatir.
Natsume tidak begitu peduli akan hal tersebut karena mereka tahu banyak yang akan membeli hanya dari nama saja. Harvest Moon telah menjadi kenangan masa kecil banyak gamer tua, dan apabila mereka tidak tahu soal Marvelous membangun franchise suksesor sendiri, mereka dipastikan jatuh ke dalam lubang nostalgia yang dipasang oleh Natsume ini.
2. Atari
Kesuksesan Atari 2600 dalam membuat console rumah mainstream mungkin menjadi kontribusi yang tidak dapat diabaikan, namun terus menerus perusahaan tersebut menurun dalam kualitas setelah dibutai oleh kesuksesan mereka. Sifat rakus dalam mengejar profit hampir membuat industri game punah. Dijuluki video game crash of 1983, ketertarikan dan penjualan pada sektor game menurun drastis karena aksi Atari yang terus luncurkan game buruk dalam waktu cepat karena ingin mengejar hari natal.
Nintendo untungnya hidupkan kembali industri ini lewat inovasi mereka, namun Atari tetap tidak berkembang sebagai perusahaan. Di era dimana Playstation, Microsoft, dan Nintendo mendominasi pasar console, Atari hanya mampu mengeksploitasi nostalgia gamer tua mulai dari kompilasi game jadul yang dirilis belasan kali dan baru-baru ini ialah Ataribox (Atari VCS) yang hanyalah pre-built PC murahan yang dijual mahal karena bentuknya seperti Atari 2600 dan juga diisi dengan game-game jadul sama yang mereka terus jual ulang selama 3 dekade lebih.
Jujur, sangat salut melihat perusahaan ini masih dapat bertahan selama ini hanya dengan menggunakan taktik nostalgia yang sama. Namun tampaknya memang sekuat itu aspek nostalgia dalam memberikan profit.
3. Taito
Taito ialah perusahana dibalik game klasik seperti Space Invaders, Arkanoid dan Booble Bubbles. Ketiga game tersebut memanglah klasik dan Space Invader menjadi salah satu ikon retro video game, namun tampaknya Taito terlalu “peras” game tersebut terlalu berlebihan.
Meskipun membuat banyak game lain, Taito juga terlalu manfaatkan nostalgia game klasik mereka dengan belasan atau bahkan puluhan kompilasi dan versi baru dari game yang sama dirilis ke platform modern. Kita lihat saja dari Space Invaders, game tersebut telah dirilis ulang atau dibuat versi modern sebanyak 22 kali. Game tetap sama hanya dengan visual baru, tak ada inovasi, tak ada upgrade gameplay apapun yang membedakannya dengan versi 1978.
Mungkin kalau tidak “diadopsi” oleh Square Enix, perusahaan ini tidak akan bertahan sampai sejauh ini.
4. Konami
Entah apa yang merasuki para eksekutif di Konami, namun perusahaan tersebut tak lagi seperti yang gamer ingat. Setelah merilis Metal Gear Solid V: The Phantom Pain yang dimana game itu sendiri penuh dengan drama khususnya dengan Hideo Kojima, Konami telah berpaling fokus pada merilis game skala kecil yang mayoritas untuk mobile dan mesin panchinko.
Tak ada game skala besar dirilis oleh perusahaan tersebut selama beberapa tahun terakhir selain dari Metal Gear Survive dan seri sepak bola PES, dan franchise ikonik yang benar-benar dipedulikan fans kini hanya menjadi brand recognition dan nostalgia-bait untuk memancing fans memainkan game mobile, pachinko, atau jika kamu beruntung, game console yang hanya spinoff filler semata.
5. Gamefreak
Pokemon ialah salah satu franchise terbesar yang pernah ada dengan jutaan fans setia terus menunggu game atau seri anime baru. Meski harus diakui bahwa franchise ini masih sangatlah kuat, ikonik, dan merchandiseable, sulit untuk diabaikan bahwa formulanya mulai stagnan selama bertahun-tahun.
Kuatnya nostalgia fans khususnya pada generasi pertama Pokemon menjadi faktor utama mengapa Gamefreak tak mau mengambil resiko membuat inovasi baru karena khawatir tidak disenangi fans dan menurunkan penjualan game. Maka lebih aman bagi mereka untuk terus-terusan membawa formula lama dengan membawa kembali para Pokemon generasi pertama dan bahkan region Kanto karena itu menjadi ladang nostalgia untuk puaskan fandom.
6. Nintendo
Saya senang Nintendo, dan tak ada studio yang selalu konsisten dalam memproduksi game berkualitas layaknya mereka. Namun menjadi bohong besar apabila saya tidak bilang perusahaan Jepang ini tidak manfaatkan nostalgia saya dan para fans tua lainnya.
Mari kita mulai dari yang paling mudah, Nintendo mulai sering merilis console mini yang merupakan replika console lama mereka dengan kompilasi beberapa game di dalamnya. Mereka tahu bahwa akan banyak fans yang bakal membeli produk tersebut hanya karena nostalgia dan juga potensi koleksi, dan untuk mengeksploitasi itu, mereka juga merilisnya dalam jumlah terbatas agar dapat menghasilkan profit dalam waktu cepat karena semua fans mau. Sejauh ini mereka telah merilis NES dan SNES, dan tak menutup kemungkinan mereka akan melanjutkannya untuk generasi console selanjutnya seperti Nintendo64 dan Gamecube.
Nintendo juga sering memanfaatkan nostalgia untuk rilis ulang game lama dengan harga full-price, contoh terbaru saat ini ialah Super Mario 3D All-Stars. Ketiga game yang dimuat memang klasik, dan saya pribadi juga membelinya karena ingin main ulang ketiga game tersebut secara legal. Namun sulit dipungkiri kalau Nintendo hanyalah memanfaatkan kenangan masa kecil para dewasa untuk membeli koleksi tersebut yang jelas-jelas tidak berhak dihargai semahal itu. Tetapi mereka tahu fans tetap akan beli karena itu satu-satunya cara legal yang ada sekarang dan koleksi terjual terbatas.
Diluar dari strategi jual ulang ini, Nintendo juga telah sering menggunakan trik “ingat momen ini nggak?” di banyak game baru mereka sebagai referensi atau bahkan bagian komponen utama dari game. Game mereka masih tetap bagus, sangat bagus bahkan, tetapi lagi-lagi… sulit untuk diabaikan betapa manipulatif nostalgia dimanfaatkan untuk menarik perhatian fans.
7. Activision
Activision miliki banyak franchise dorman setelah Call of Duty menjadi franchise tahunan mereka, namun mendadak publisher besar ini mendobrak “comeback” dari franchise-franchise lama tersebut dimulai dari Crash Bandicoot: N.Sane Trilogy. Remake dari 3 game pertama Crash Bandicoot tersebut menuai resepsi dan penjualan yang sangat baik, dan hal tersebut tampaknya membuat sadar Activision akan potensi “menjual nostalgia”.
Tak lama kemudian, remake dari franchise lainnya pun muncul mulai dari Spyro the Dragon, CTR, Warcraft, Tony Hawk, dan rumornya juga Diablo akan menyusul. Kesuksesan Crash Bandicoot juga membuat terciptanya sekuel keempat yang dirilis tahun kemarin. Bisa dibilang, Activision akan terus melakukan strategi remake/remaster ini pada semua franchise dorman mereka karena membangun sekuel baru jauh lebih beresiko dibandingkan membuat ulang game yang fans tahu “bagus” setidaknya untuk versi original.
Bicara soal Call of Duty, Activision dan para studionya mulai gunakan nostalgia untuk menjual game baru atau microtransaction dalam game. Contoh paling mudah ialah Modern Warfare reboot. Fans miliki kenangan lekat dengan para karakter seperti Price, Soap dan lainnya, maka mereka membuat ulang game tersebut dengan cerita baru dan tiap karakter ikonik tersebut perlahan dibuat menjadi konten berbayar di multiplayer. Call of Duty: Black Ops Cold War tampaknya mengikuti jalan serupa namun bedanya game tersebut masih berperan sebagai sekuel ketimbang reboot.