Ketika miliki franchise yang sukses, developer akan mencoba pertahankan formula yang telah dibangun karena mereka tahu formula tersebut berhasil dan fans akan mengkritik panas ketika game baru berbeda jauh dari seri sebelumnya. Namun ada saatnya dimana developer mencoba bereksperimen khususnya terhadap franchise tua dengan harapan dapat membawa kembali franchise ke masa jaya dan menyesuaikan dengan minat pasar.
Pada kesempatan kali ini, kami akan membicarakan soal franchise game yang telah berganti “identitas” berkali-kali. Tampil beda di pasar yang kompetitif seperti sekarang bukanlah hal yang buruk, namun sebuah bohong apabila kita tidak merindukan “wajah lama” dari game-game berikut ini. Tanpa panjang lebar lagi, berikut ialah franchise game dengan paling sering ganti identitas.
Daftar isi
1. Need for Speed
Need for Speed berawal sebagai game balap mobil mewah dengan track yang berlokasi di lokasi ikonik tertentu. Mulai dari perilisan Need for Speed: Underground, franchise milik EA ini “banting stir” menjadi balap jalanan dengan cerita cheesy, handling yang lebih arcade-y, dan penuh gaya anak remaja.
Ketika Criterion Games, developer dari Burnout, ditunjuk sebagai salah satu developer, direksi franchise kembali berubah dan balapan kini lebih brutal dengan bermain curang seperti “takedown” mulai ditonjolkan. Gaya bermain semacam ini terus didorong hingga Criterion Games ditarik menjadi developer support dan Ghost Games memegang penuh ahli franchise.
Di tangan Ghost Games, franchise balap ini “reboot” kembali ke era Underground. Game kembali fokus pada balap jalanan dengan kustomisasi warna-warni, cerita ala film Hollywood, dan takedown yang sedikit diminimalisir. Namun kontrol Ghost Games tidak bertahan lama dan Criterion kembali ditunjuk. Pertanyaan saat ini ialah apakah franchise balap kesayangan EA tersebut akan pertahankan direksi sekarang, atau kembali lagi dengan balap takedown ala Burnout?
2. Assassin’s Creed
Assassin’s Creed menjadi rilis yang sangat sukses untuk Ubisoft, blueprint open-world yang diperkenalkan game tersebut masih digunakan hingga saat ini dan menginspirasi para developer lainnya. Meskipun begitu, semua fans dari AC akan setuju apabila seri baru-baru ini terus melenceng dari identitas 3 game pertamanya.
Ketiga game awal dari franchise action ini fokus pada stealth, aksi cepat dan juga perpaduan sejarah dan fiksi yang seimbang. Akurasi sejarah sangat menjadi hal yang diperhatikan oleh Ubisoft pada game-game awal hingga mereka membuang crossbow di game pertama karena senjata tersebut hanya ada di Asia pada latar waktu Altair berada. Elemen fiksi tetaplah terjadi, namun hanya terbatas pada piece of eden pada saat itu.
Mulai dari Assassin’s Creed Origins, game dapatkan rombakan besar pada gameplay-nya. Game kini dipenuhi dengan elemen RPG mulai dari sistem EXP, musuh yang miliki level dan juga lebih sponge-y untuk dibunuh, sistem skill, dan masih banyak lagi. Elemen cerita juga semakin menuju ke arah fiksi dengan munculnya dewa Anubis, Atlantis, dan berbagai musuh maupun latar skenario fantasi lainnya.
Melihat fans tampaknya juga sudah lupa kalau protagonis utama game telah mati hampir satu dekade lalu ditambah dengan publisher lebih mengutamakan checklist diversitas ketimbang akurasi sejarah. Fans mungkin harus pasrah berharap franchise ini bakal kembali ke identitas lama.
3. Ghost Recon
Ghost Recon berawal sebagai game sebagai game shooter militer taktikal yang utamakan strategi squad dan gameplay strategis. Musuh maupun pemain dapat tewas hanya dalam kedipan mata apabila posisi terekspos, membuat seri ini dikenal sebagai shooter yang sulit dan perlu kesabaran.
Saat memasuki generasi ke-7 console (Xbox 360/PS3/Wii), Ubisoft mulai merombak total gameplay untuk menarik perhatian pendatang baru. Gameplay kini lebih dimudahkan dengan pemain dapat bertahan hidup setelah ditembak beberapa peluru. Mereka tak dapat pulihkan HP, tetapi pemain dilengkapi dengan sistem cover yang sangat membantu untuk bertahan hidup.
Identitas militer hardcore yang dikenalkan pada seri pertama kemudian hilang total saat memasuki Future Soldiers. Tak hanya latar berubah menjadi futuristik, gameplay kini lebih mendekati third-person shooter modern seperti Gears of War dan juga kamu tak perlu lagi mengurus squad karena game dapat dimainkan coop.
Ghost Recon: Wildlands kembali menjadi reboot total dari franchise ini. Mengambil blueprint sukses dari Assassin’s Creed dan Far Cry, Ubisoft kembali merombak game menjadi open-world penuh dengan aktivitas sampingan. Gameplay juga telah dibuat menjadi shooter biasa dengan berbagai checklist khas game garapan Ubisoft.
4. Halo
Halo mungkin telah merevolusi FPS console dan menjadi blueprint implementasi FPS pada controller untuk bertahun-tahun kemudian. Namun dengan banyaknya game FPS yang mencoba berkompetisi di pasar, sebuah perubahan besar terjadi di franchise ini sangatlah dimengerti agar dapat terus relevan.
Setelah Bungie mengundurkan diri dari franchise ini setelah menutupnya dengan Halo 3, studio baru dibangun oleh Microsoft untuk teruskan cerita Master Chief. 343 industries terbentuk dan mereka mencoba sebisa mungkin untuk memodernisasi Halo ke pasar dimana Call of Duty dan Battlefield mendominasi.
Halo Reach, Halo 4, dan Halo 5, ketiga game ini perkenalkan fitur-fitur seperti sprint, slide, groundpound, loadout, killstreak dan lainnya yang kamu harapkan dari FPS usai Modern Warfare, dan ketiganya dapatkan resepsi yang tidak sepositif game garapan bungie. Dari segi komunitas pun, game lama justru lebih diminati dibandingkan rendisi baru.
Fans memandang 343i lebih membuat game yang “sesuai trend pasar” ketimbang mempertahankan identitas yang telah dibangun oleh seri awal, membuat mereka menjadi punching-bag akan meredupnya salah satu franchise ikonik Microsoft tersebut.
Halo Infinite dari segi visual mengambil tampaknya mencoba ingin kembali ke era Halo:CE, namun direksi gameplay tampaknya kembali dirombak. Game kemungkinan akan menjadi game semi open-world lengkap dengan misi sampingan, dan dari aspek gunplay dipandang mengambil banyak inspirasi dari Doom 2016. Fans masih banyak yang skeptis dengan game Halo baru tersebut, namun kita lihat saja pada saat rilis nanti.
5. Call of Duty
Call of Duty seharusnya menjadi spiritual suksesor Medal of Honor setelah para developernya keluar dari EA, namun semuanya berubah setelah Modern Warfare sukses besar. Franchise yang awalnya dikhususkan tentang perang dunia kedua berubah menjadi perang modern dengan kumpulan senjata militer masa kini.
Ketika formula mulai stagnan karena rilis yang dipaksa tahunan, Infinity Ward, Treyarch, dan studio baru Sledgehammer Games mencoba membuat franchise ini segar kembali dengan beralih ke futuristik. Suksesnya Titanfall yang digarap oleh para mantan developer Infinity Ward, COD justru mencoba meniru game buatan sang mantan dengan menambah wallrun dan mekanik futuristik lainnya.
Dikecam fans, Sledgehammer mencoba membawa kembali COD ke “akar” dengan Call of Duty: WW2. Meskipun mendengar permintaan fans, game tersebut justru menjadi salah satu yang berperfoma terburuk mulai dari resepsi fans dan tingkat komunitasnya yang jatuh paling cepat.
Ketika Overwatch rilis, hero-based shooter menjadi trend terbaru dan semua mencoba mengalahkan game garapan Blizzard tersebut. Entah apakah paksaan dari Activision yang juga publisher dari Overwatch, namun Black Ops 4 kembali mengubah identitas game menjadi semi hero-based. Gameplay tetap seperti yang kamu ekspektasi dari Call of Duty, namun skill dari para karakter lebih menonjol dari implementasi sebelumnya di Black Ops 3.
12 tahun menjadi game rilis tahunan setelah perilisan Modern Warfare 2007, sulit untuk datangkan ide baru lagi. Maka dari itu, Infinity Ward lebih memilih untuk kembali ke ide lama. Tiada lagi tema futuristik, tiada lagi sistem karakter, tiada lagi fanservice balik ke perang dunia 2; Infinity Ward memilih untuk reboot kembali Modern Warfare. Tak ada gimmick menonjol apapun dari reboot satu ini. Modern Warfare 2019 tampak seperti game yang kamu harapkan dari 2007 silam namun dengan produksi, teknologi dan mekanik yang lebih tinggi. Call of Duty Black Ops: Cold War garapan Treyarch tahun lalu tampaknya juga kembali ke akar Black Ops mereka setelah respon positif Modern Warfare 2020. Kini hanya perlu menunggu waktu kapan franchise ini akan berubah identitas lagi.
6. Resident Evil
Genre horor menjadi genre yang susah dibuat laku. Tidak semua gamer berani untuk dibuat takut dan popularitas Youtube dan Streamer sebagai opsi alternatif membuat jumlah game horor tidaklah lagi sebanyak dulu oleh studio besar. Namun Resident Evil menjadi pengecualian besar bagi fans.
Resident Evil telah miliki 8 game utama dan belasan spinoff saat ini, dan tampaknya Capcom dengan sengaja mengubah direksi game tiap perilisan 3 game.
Resident Evil 1-3 usung perspektif fixed camera. Kamu dipaksa mengikuti letak lokasi kamera yang ditentukan developer tanpa kebebasan untuk menggerakannya. Dari segi gameplay juga ketiga seri utama ini sangat fokus pada survival lewat inventory yang sangat terbatas dan zombie yang sulit dibunuh, membuatmu berpikir dua kali untuk habiskan peluru.
Resident 4-6 usung perspektif kamera third-person di balik pundak, yang dimana menginspirasi banyak third-person shooter modern saat ini seperti Gears of War hingga Tomb Raider baru. Tak hanya berubah kamera, dari segi gameplay juga ketiga game ini berbeda dengan generasi sebelumnya. Game lebih fokus pada aksi dan cerita bombastis ala Hollywood dengan horor yang fans kenal dari franchise ini hampir atau bahkan tidak ada sama sekali.
Resident Evil 7 dan Village yang tengah dikembangkan tampaknya menjadi direksi baru lagi dengan game mengusung kamera first-person dan zombie hampir tidak lagi menjadi fokus. Aspek horor dibawa kembali pada seri RE modern ini, namun eksekusinya yang sedikit berbeda.
Selain dari melanjutkan seri baru, Capcom juga tengah sibuk dengan remake dari tiap game lama. Saat artikel ini ditulis, RE2 dan RE3 menjadi game yang telah dapatkan remake. Di luar dari perspektif kamera yang kembali ke third-person, horor dari remake ini hampir sama dengan yang dilakukan di RE7 mulai dari sekuens “kucing tikus” dengan musuh besar, akurasi senjata yang sengaja dibuat buruk, dan musuh yang sulit dibunuh.
7. Rainbow Six
Satu lagi game Ubisoft muncul dalam list ini, dan kali ini ialah franchise yang berawal sebagai taktikal shooter counter-terrorist. Sama seperti Ghost Recon, perubahan besar terjadi saat memasuki generasi ke-7 console dimana Ubisoft rilis Rainbow Six Vegas.
Tak hanya menghilangnya elemen strategi dan realisme yang seri-seri awal miliki, Vegas bisa dibilang sebagai reboot total franchise dimana game dibuat lebih sinematik dan action. Sebagian elemen taktikal masih muncul dan karaktermu masih dapat tewas dalam kedipan mata, namun implementasi sistem cover dengan perubahan perspektif kamera membuat game menjadi jauh lebih accessable untuk pendatang baru dan juga setup controller console.
Setelah gagal merilis Rainbow Six: Patriot, franchise ini kembali mendapat rombakan besar lewat Rainbow Six: Siege. Game 2016 tersebut tak hanya menjadi game multiplayer penuh tanpa konten single-player, ia juga lebih difokuskan menjadi semi hero-based dimana tiap karakter miliki gadget masing-masing, membuang sistem loadout bebas yang dimiliki seri sebelumnya. Tom Clancy mungkin takkan senang dengan apa yang ia lihat apabila masih hidup sekarang, namun ironisnya ialah perombakan ini yang membuat franchise relevan kembali.
8. Sonic the Hedgehog
Di saat Mario terus dibanjiri review positif akan apapun yang dia lakukan, Sonic bisa dibilang sebaliknya. Untuk melawan Mario yang penuh dengan personalita cerita, Sonic mencoba untuk menjadi counterpart yang lebih remaja dan edgy.
Sonic Adventure menjadi awal si landak biru mencoba menjadi lebih sinematik dan kaya cerita. Namun eksekusinya selalu terkesan kaku dan bahkan cringeworthy. Usai perilisan game tersebut, game penerusnya terus miliki direksi yang tidak jelas mulai dari Sonic berubah menjadi werewolf, Sonic menyelamatkan tuan putri dan bahkan punya hubungan romansa dengannya, Sonic melawan jin, dan masih banyak lagi. Dari segi gameplay juga Sega terus mencoba untuk menginovasi gameplay lari cepat Sonic dalam berbagai format, namun hasilnya selalu 50:50 antara sangat bagus atau sangat buruk.
Sonic Generations rilis dan menjadi salah satu game modern Sonic yang benar-benar disenangi secara universal, namun direksi tak jelas masih terus terjadi seperti pada Sonic Lost Words yang seakan mencoba menduplikat Super Mario Galaxy.
Pada akhirnya, format 2D lama memanglah yang paling tepat untuk sang landak biru. Sonic Mania dirilis di 2017 dengan game digarap oleh fans ketimbang dari studio internal Sega, dan ironisnya game buatan fans ini jauh lebih diterima positif ketimbang Sonic Forces yang seharusnya menjadi game skala apik untuk franchise tersebut.