2020 menjadi tahun yang buruk untuk semua orang. Video game menjadi salah satu pilihan banyak orang untuk membebaskan diri dari pandemi global yang hingga sekarang masih menghantui. Tahun ini dipenuhi dengan game bagus untuk menemanimu selama karantina, namun banyak juga game buruk yang harus kamu hindari sejauh mungkin.
Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas worst of the worst, game dengan resepsi begitu buruk yang dimana reviewer maupun gamer sama-sama setuju untuk tidak merekomendasikannya. Berikut ialah game terburuk tahun ini:
Daftar isi
1. XIII Remake
Remake dan remaster semakin tahun semakin bertambah, beberapa mencoba hidupkan kembali franchise lama yang terlupakan, beberapa hanyalah cashgrab semata yang manfaatkan nostalgia pemain. XIII Remake jatuh pada kategori yang kedua.
XIII adalah game adaptasi komik Belgia yang dirilis pada tahun 2003 oleh Ubisoft. Dibandingkan game Ubisoft lainnya, game ini gagal secara komersil namun beberapa tahun kemudian menarik perhatian pemain karena gaya visualnya yang unik. Microids dan Playmagic ingin mencoba kembali hidupkan franchise ini, namun ketimbang membuat remake yang perbaiki banyak masalah di versi lama, remake yang mereka buat justru membawa lebih banyak masalah.
Gaya visual komik yang dikurangi, sinematik yang terlihat buruk, penuh dengan bug, animasi serta gunplay yang terasa kaku, semua hal buruk yang kamu harapkan dari sebuah remake ada di game ini. Remake XIII sangatlah buruk hingga developer harus membuat pernyataan maaf kepada fans dan menyalahkan pandemi untuk kurangnya quality control dari game tersebut.
2. Fast & Furious Crossroads
Diumumkan paling terakhir di acara The Game Awards 2019, Fast and Furious Crossroads telah membuat banyak orang skeptis. Banyak yang memandang game ini seperti game mobile hanya dari visualnya semata dan yang menarik ialah game ini dikembangkan oleh Slightly Mad Studios, developer dari Project Cars yang dikenal miliki kualitas grafis fotorealistik.
Saat rilis, skeptisisme pemain memanglah benar. Fast and Furious Crossroads dapatkan review buruk karena visual, voice acting, dan kontrol yang buruk. Game ini seakan-akan seperti Slightly Mad Studios mengambil kontrak cepat kerjakan game lisensi agar dapat mendapat uang tambahan untuk proyek mereka yang sesungguhnya yaitu Project Cars 3.
3. Remothered: Broken Porcelain
Remothered: Broken Porcelain ialah sekuel dari Remothered: Tormented Fathers, game horor tahun 2018 yang jauh dari sempurna namun tergolong cukup untuk ciptakan komunitas penggemar skala kecil. Sekuel ini terasa seperti langkah mundur dari game pendahulunya.
Broken Porcelain ialah game yang begitu “broken”. Game dipenuhi dengan bug mulai dari lucu hingga bikin emosi karena dapat merusak progresmu. Bahkan di luar dari masalah teknis tersebut, game ini miliki jalan cerita yang amat membingungkan dari awal hingga akhir, dan kebingungan tersebut bukanlah hal yang disengaja untuk mendorong pemain mencari tahu sendiri misteri dibalik cerita game, tetapi memang game yang tidak mampu menceritakan plot secara kohesif.
4. Tiny Racers
Tiny Racers duduki posisi pertama sebagai “game terburuk 2020” di Metacritic. Game dari Icetorch Interactive ini dikritik keras akan gameplay yang buruk dan kurangnya quality control.
Salah satu reviewer menyebut game ini tidak menawarkan apapun yang spesial dan terkesan seperti asset flip yang dikerjakan dalam waktu satu minggu tanpa niat maupun misi untuk membuat game yang menyenangkan. Tiny Racer menjadi contoh kecil dari minimnya kepedulian Nintendo terhadap game yang masuk ke dalam katalog eShop dan lebih mementingkan kuantitas, masalah yang sama yang dihadapi oleh Steam selama bertahun-tahun.
5. Dawn of Fear
Dawn of Fear ialah game yang mencoba mereplika dan menghidupkan kembali nostalgia Resident Evil klasik, sayangnya game ini terlihat jelas dibuat oleh developer solo yang masih pemula dan amatir akan eksekusinya.
Game ini dapatkan review buruk karena kontrol yang kaku bahkan dibandingkan dengan RE klasik, desain yang terkesan terlalu generic karena kurangnya mekanik dan identitas unik sendiri.
6. Airplane Mode
Mereka yang sering jalan-jalan melalui pesawat seharusnya tahu akan betapa membosankannya duduk di antara puluhan orang asing selama berjam-jam dan masuk akal apabila kamu lebih memilih tidur. Bagaimana jika pengalaman membosankan tersebut direplika dalam bentuk video game? Ya, ini adalah keseluruhan premis dari Airplane Mode.
7. Cooking Mama Cookstar
Cooking Mama Cookstar sempat menuai kontroversi saat rilis. Game dianggap miliki program mining cryptocurrency karena cepat membuat Switch panas serta habis baterai. Isu tersebut kemudian dibantah dan ternyata masalah yang terjadi disebabkan oleh programming yang buruk.
Namun drama tidak berhenti sampai disitu, karena permasalahan dengan pemilik IP yaitu Office Create yang menganggap Cooking Mama Cookstar dibawah standar yang mereka tetapkan, game ditarik dari eShop dan semua versi retail fisik ikut ditarik. Namun beberapa kopi telah tersebar, membuat versi fisik game ini menjadi “game langka”.
Diluar dari kontroversi tersebut, Cooking Mama Cookstar menjadi game yang berhak kamu abaikan. Game hanya tawarkan beberapa minigame yang begitu sederhana yang terkesan seperti game flash atau game mobile anak-anak yang sering kamu temukan di Playstore/Appstore.
8. The Elder Scrolls: Blades
Fans tahu jika The Elder Scrolls: Blades akan jadi sekedar game filler dengan gameplay yang sangat disederhanakan, namun mereka tak berharap game mobile ini menjadi game cashgrab yang paksa kamu untuk “sumbangkan” uang ke kantong Todd Howard.
Kritikus mengkritik gameplay dan combat yang terlalu simplistik dan repetitif. Tiap dungeon dibuat terlalu linear dan kamu tidak punya kebebasan dalam mengeksekusi pertarungan. Interaksi dengan NPC tak lebih dari konfirmasi transaksi dan banyak fitur di game yang mendorong pemain untuk habiskan uang. The Elder Scrolls: Blades menjadi contoh baru game mobile yang manfaatkan brand recognition untuk memancing pemain dan membuat mereka keluarkan uang untuk microtransaction.
9. Warcraft 3: Reforged
Warcraft 3 ialah game RTS klasik yang tak hanya layak dicap sebagai klasik, tetapi juga menjadi fondasi lahirnya berbagai genre baru khususnya MOBA. Remake yang dinamai “Warcraft 3 Reforged” mencoba menghidupkan kembali game klasik ini, namun yang dilakukan oleh Blizzard justru sebaliknya.
Remake ini lebih membawa masalah ketimbang hal baru. Upgrade visual yang dijanjikan tidak menggugah sama sekali dan masih terlihat seperti game PC jadul, UI yang masih berantakan untuk monitor widescreen, sinematik yang masih “murahan” dan berbeda drastis dengan apa yang dijanjikan pada preview 2018 lalu, serta remake ini jauh lebih buggy dari versi original.
Untuk memperparah keadaan, Blizzard dengan lancang membuat aturan baru dimana user-generated content akan menjadi hak milik mereka. Keputusan ini seakan Blizzard tak mau proyek sukses seperti DOTA tercipta lagi yang dimana mereka tidak mendapat royalti atau kompensasi apapun sebagai penyedia level editor, maka mereka merubah aturan biar apabila terjadi lagi fenomena baru dari level editor, mereka akan dapatkan untung setidaknya dengan mengambil hak milik ide yang tercipta.
Tak cukup dengan membuat remake ini hanya sekedar “cashgrab” nostalgia, mereka juga lakukan praktek bisnis anti-consumer yang membuat Warcraft 3 Reforged pantas untuk masuk dalam list ini meski gameplay dan cerita tidak tersentuh.