Micro-transactions, Loot Box, mata uang dalam game yang bisa dibeli dengan uang asli, dan beragam cara lain kini sepertinya menjadi cara baru bagi para publisher video game untuk mendapatkan pemasukan tambahan tanpa harus menaikkan harga asli dari video gamenya. Bila dahulu hanya game-game free-to-play dan freemium saja yang mengaplikasikan cara ini, maka kini bahkan game-game AAA berharga penuh pun ikut menggunakannya yang tentunya menjadi kontroversi di kalangan para gamer. Namun apakah semua itu terjadi hanya karena alasan sederhana bahwa para publisher ini serakah? Kelihatannya situasinya lebih rumit daripada itu.
Analis KeyBanc Capital Markets, Evan Wingren mengatakan bahwa menurut data konten sebuah video game dalam satu jam masih merupakan salah satu bentuk hiburan yang paling murah. Mungkin mudahnya kamu bisa membandingkannya bahwa sebuah film hanya berdurasi sekitar 1-2 jam, begitu juga dengan musik yang mungkin satu album hanya berdurasi 1 jam saja. Analis kuantitif pun menyebutkan bahwa publisher video game bahkan mematok harga yang terlalu murah untuk game-game mereka, dan bahkan seharusnya menaikkan harga game mereka.
Memang tidak ada data transparan valid yang dapat digunakan untuk membenarkan pernyataan dari analis tadi. Apakah memang benar harga yang dipatok untuk sebuah game sekarang sangatlah rendah, ataukah kenyataannya tidak sedramatis yang diungkapkan tadi. Mengingat game-game single player yang tidak menerapkan sistem micro-transaction di dalamnya masih dapat meraup untung yang besar dari biaya pembuatan game mereka. Namun tentunya bila nantinya semakin banyak video game yang bertransformasi menjadi sebuah layanan berkelanjutan. Maka kelihatannya akan lebih banyak lagi publisher yang akan menerapkan sistem “pembayaran tambahan” di dalam game mereka.
Lalu bagaimana menurutmu sendiri, apakah kamu lebih suka bila harga video game nantinya dinaikkan. Atau kamu lebih memilih game tersebut memiliki sistem micro transaction di dalamnya?
Sumber: metro.co.uk