“Tak lagi Assassin’s Creed yang dikenal” adalah kalimat yang sering dielukan oleh para fans tentang seri Assassin’s Creed milik Ubisoft. Bahwa elemen stealth yang selama ini mereka kenal melalui hidden blade ditinggal total. Setidaknya pada trilogi terakhir gamenya. Namun jika dilihat dari sejarah dan zamannya, maka cukup masuk akal apabila gamenya tak miliki elemen tersebut.
Pasalnya, Origins dan Odyssey berada pada zaman yang jauh sebelum iterasi pertama serinya. Jadi, aman dan sangat masuk akal apabila kita mengatakan bahwa lore-wise, memang tidak ada mekanik tersebut. Hanya orang yang tidak memainkan gamenya dari seri pertama saja yang tidak memahaminya dan ikut menghujat.
Namun, dengan perilisan Valhalla yang sudah semakin dekat dengan zaman Altair, maka wajar apabila kelompok Assassins mulai mengembangkan sayapnya lebih lebar lagi. Dengan kata lain, wajar apabila elemen stealth yang selama ini kamu kenal akan kembali.
Tentunya hal ini disinyalkan oleh Ubisoft melalui trailer dan gameplay perdananya. Bahwa mereka akan hadirkan karakter Assassin yang akan membantu protagonis utama Assassin’s Creed Valhalla, yakni Eivor. Benar saja, mereka berikan mekanik stealth yang selama ini kita kenal ke dalam gamenya. Tunjukkan si pimpinan Viking miliki kemampuan mengendap-endap tanpa harus melawan musuh di muka.
Eksekusinya yang manis membuat saya pribadi merasakan bahwa gamenya terasa sangat lengkap dengan berbagai opsi saat pertamakali memainkannya. Setidaknya itulah kesan pertama saya ketika mencicipinya.
Lalu, bagaimana pengalaman saya setelah mencobanya cukup lama? Simak kisah saya berikut. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terlambat berhubung banyak sekali yang harus saya kerjakan. Ditambah hanya sisa saya seorang diri untuk mengerjakan review game besar seperti ini.
Daftar isi
Jalan Hidup Baru
Assassin’s Creed Valhalla angkat kisah Viking di mana clan dari ayah Eivor akhirnya musnah akibat serangan Kjotve, rekannya yang berkhianat. Eivor yang lari dan hampir mati dimakan serigala akhirnya diselamatkan oleh raja Styrbjorn dan anaknya, Sigurd yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri.
Setelah melewati beberapa konflik di Norwegia, Sigurd yang merasa bahwa ayahnya tak sesuai visi clannya memutuskan untuk pergi ke dataran Inggris bersama Eivor dan Raven Clan. Ia berencana untuk menempuh jalan hidup baru bersama klannya sembari membentuk hubungan baik antar penguasa dataran Inggris yang mendiaminya. Berhasilkah Eivor dan Sigurd bertahan di tempat bersejarah tersebut?
Elemen RPG Lengkap
Selayang pandang Assassin’s Creed Valhalla memang bukan game biasa, pacenya yang lambat di awal mungkin akan buatmu sedikit bosan dan merasakan banyak kekurangan. Namun setelah kamu pergi ke dataran Inggris, maka semua petualanganmu akan dimulai.
Assassin’s Creed Valhalla berikan berbagai elemen layaknya game RPG pada umumnya. Namun alih-alih memberikannya secara setengah-setengah, Ubisoft sepertinya paham betul bagaimana memoles salah satu franchise terbesarnya tersebut. Tak hanya hadirkan beberapa elemen di iterasi terdahulu seperti inventory upgrade, looting, dan quest, mereka juga buat semua fitur dalam gamenya tak terbuang sama sekali.
Kamu masih menemukan bounty yang diimplementasikan di Odyssey untuk selesaikan quest para Assassin, kemampuan melihat tembus tembok dan tandai musuh yang sekarang disebut Odin’s Vision, eagle eye view yang diganti oleh gagak, senjata jarak jauh dan dekat, serta skill poin, ability, dan yang lain.
Karakter dan penokohan misalnya, yang akan terus kamu ingat selama memainkan gamenya. Sistem quest juga mereka rombak sedemikian rupa agar sesuai dengan genrenya yakni RPG. Di mana player takkan melulu mengikuti tanda di map dan berusaha untuk membaca semua yang telah disediakan, mulai surat, dan clue lain yang ditemukan di sepanjang map. Sebuah fitur yang menurut saya sangat dekat dengan CRPG sekelas Divinity Original Sin, namun dengan penyelesaian yang lebih mudah.
Hal menarik lain dari questnya adalah bagaimana player bisa menemukan sebuah clue dari raut wajah setiap karakternya saat melakukan investigasi. Dari situ, kamu akan tahu siapa karakter yang berkhianat saat dilempar dengan sebuah pertanyaan. Atau bagaimana ia sebenarnya merupakan pelaku dan biang masalah dari konflik yang tengah terjadi. Jika saya harus membandingkannya dengan game terdahulu, Valhalla nampaknya sedikit terinspirasi dengan L.A. Noire namun tak mengadaptasinya secara gamblang.
Banyaknya elemen di map open world yang cukup luas, juga memperkuat keberadaan elemen RPG tersebut. Meskipun sekilas mapnya terasa kecil, namun saya lebih suka menyebutnya dengan padat dan berisi. Seolah Ubisoft menyadari map super besar tak lagi jadi kiblat mereka.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, tak ada sesuatu yang terbuang. Kamu bisa memanfaatkan semua yang kamu temui di map. Barang crafting, equipment, rune untuk menambah ability layaknya Odyssey, dan elemen lain. Ya, kamu bisa lakukan looting semua barang yang kamu temukan, karena gamenya tak miliki sistem weight yang bakal memperlambat perjalananmu. Jadi, siapkan mental mulungmu saat memainkan game ini.
Padat berisi juga membuat eksplorasi mapnya terasa menyenangkan. Kamu bisa menemukan berbagai area menarik yang diimajinasikan ulang oleh para artist Ubisoft. Terkadang kamu juga menemukan area terkutuk yang diselimuti oleh kabut tebal dan untuk menghilangkan kutukannya, kamu harus mencari sumber kutukan dan menghancurkannya.
Dalam eksplorasimu, banyak pula lore yang tersimpan di beberapa area dan bukan hanya area “kosong” semata. Mereka mengimplementasikan Mystery dan Wealth untuk para mulungnista untuk mencari, menyelesaikan, dan merebutnya. Sistem mystery juga sekaligus menghapus side-quest tradisional yang selama ini diimplementasikan di banyak game RPG. Hal ini rupanya tak lain dan tak bukan karena Eivor sendiri bukanlah seorang hero, melainkan pendatang dan penjajah dataran Inggris. Sebuah konsep yang Ubisoft sendiri sangat pahami bahwa Eivor takkan diterima dan dianggap orang asing tak diundang oleh penghuninya.
Bagi saya pribadi hal tersebut adalah implementasi open world yang sangat menarik. Ubisoft nampaknya belajar dari beberapa game RPG sekelas The Witcher dan mengimplementasikannya di Assassin’s Creed Valhalla dengan sangat baik. Kamu secara tak langsung akan dipaksa untuk mengeksplorasi dunianya dengan ragam detil yang ditawarkan. Terlebih dengan tampilan visual yang sangat memanjakan mata.
Jika kamu perhatikan baik-baik, Anvil Engine yang mereka gunakan sangat mampu untuk membuat dunia Assassin’s Creed Valhalla dengan nuansa yang syahdu dan natural dengan warna dan cahayanya yang disusun dengan rapi. Saya lebih suka menyebut tone warna yang dibuat Ubisoft dalam gamenya sebagai color palette yang menjadi ciri khas masing-masing serinya. Berbeda dengan Odyssey yang condong ke warna biru langit dengan paduan hijau dan krem, Valhalla miliki paduan warna putih dan hijau kebiruan. Dominasi warna tersebut berikan nuansa natural sekaligus bencana mematikan saat mengitari dunianya. Seolah player dipaksa untuk terus waspada setiap saat.
Sayangnya, tak semua area bisa kamu eksplorasi dengan sangat bebas, karena terdapat area tertentu yang terkunci oleh quest utama gamenya. Hal ini membuat saya sukses seperti orang bodoh yang mengitari area tersebut demi mencari bagaimana cara memasukinya.
Timing, Timing, dan Timing
Map dengan elemen RPG lengkap rasanya tak afdol tanpa mekanik battlenya. Masih sama dengan iterasi sebelumnya, kamu akan dibekali senjata jarak jauh berupa panah maupun jarak dekat berupa kapak. Terdapat berbagai tipe panah, mulai dari hunter untuk jarak jauh dan sniping sekaligus senjata yang sering saya gunakan karena saya lebih suka bertempur secara stealth.
Saya lebih suka menggunakan hunter karena ia bisa menggempur musuh dari jarak yang cukup jauh. Sifat bow yang fleksibel juga membuatnya menjadi senjata dengan adaptasi yang sangat mudah.
Menariknya, player bisa memanfaatkan sistem dual-wielding atau menggunakan dua senjata di tangan kanan maupun kiri. Entah itu kapak kecil, kapak besar, palu, hingga dual-sword raksasa. Animasinya yang smooth membuat battle terasa lebih interaktif, meskipun pada beberapa bagian saya merasakan bahwa battlenya terasa sedikit kaku karena implementasi barunya, namun overall Assassin’s Creed Valhalla hadir dengan sistem yang lebih memuaskan.
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa hidden blade akan kembali, maka battle-nya terbagi atas dua varian: stealth dan bar-bar. Kamu yang mau bar-bar bisa langsung hajar saja tanpa kesulitan karena memang Eivor didesain untuk itu, sementara kamu yang lebih suka stealth layaknya seri Assassin’s Creed pada umumnya bisa memanfaatkan hidden blade yang kamu miliki untuk one-hit kill musuh maupun membunuhnya secara diam-diam di balik kegelapan dan rerumputan.
Menariknya, sistem stealth dan one-hit-kill ini miliki beberapa variasi lain. Karena semua musuh memiliki power level termasuk dirimu, maka tak semua musuh bisa di one-hit-kill. Namun dengan membuka skill tertentu, kamu bisa melakukannya dengan sangat mudah dan memuaskan. Terdapat timing tertentu saat membunuh musuh dengan power level tinggi, jika kamu berhasil, maka kamu bisa membunuhnya dengan mudah.
Sementara, versi bar-bar dari battlenya lebih condong ke stamina. Untuk battle biasa, stamina tak begitu diperhatikan dengan seksama. Namun kamu harus memperhatikannya agar tak habis saat melawan boss.
Saat melawan boss, sistem ini akan mirip sekali dengan Dark Souls, sementara boss akan miliki shield system layaknya Sekiro, di mana jika kamu berhasil parry atau menangkisnya menggunakan perisai, maka kamu bisa memecah perisai tersebut dan mendaratkan damage yang sangat besar ketika kamu berhasil lakukan counter. Semua tentunya harus sesuai timing, jika tidak, maka kamu justru yang akan kalah.
Absennya sistem weight untuk inventory bukan berarti membuat status weight di setiap senjata yang kamu gunakan akan berpengaruh pada kecepatan larimu. Sistem ini akan ditunjukkan melalui animasi battle, di mana senjata yang miliki weight tinggi akan miliki animasi memukul yang lebih lambat atau sebaliknya.
Sistem battle juga tak jauh-jauh dari peran skill poin. Kamu tak lagi menggunakan “sistem naik level tradisional” dengan batasan tertentu, melainkan fokus pada skill poin yang bisa tentukan power levelmu. Semakin tinggi power level, maka semakin kuat pula karaktermu, kecuali saat melawan boss tentunya. Terdapat maksimum 400 power level yang bisa kamu tambah.
Tak ada batasan apapun tentang “levelnya”, bahkan setelah kamu capai level maksimum sekalipun kamu masih bisa “naik level”.
Setiap naik “level” kamu akan mendapatkan dua skill poin, jadi setidaknya kamu harus naik 200 level untuk bisa mendapatkan 400 skill poin.
Kamu juga bisa dapatkan ability untuk skill aktif layaknya iterasi sebelumnya. Bedanya ability ini bisa didapatkan melalui buku yang tersebar di penjuru map. Dengan kata lain, kamu harus lakukan eksplorasi lagi dan lagi.
Semuanya Berguna
Berbicara soal battle, tentunya peranan equipment dan item menjadi salah satu yang sangat krusial dalam gamenya. Menariknya, Assassin’s Creed Valhalla tak memberikan sesuatu yang tak berguna di sepanjang permainan. Semua equipment maupun item yang kamu temukan di map bisa diupgrade dan dimanfaatkan sebaik mungkin.
Terdapat dua macam tipe upgrade di sini: rarity/level dan tingkatan upgrade. Rarity akan menambah slot tingkatan upgrade sekaligus menambah status dasar setiap equipmentmu. Ia ditunjukkan dengan warna, mulai dari silver yang berarti biasa, bronze, platinum, dan yang terakhir gold. Sementara tingkatan akan menambah tiap statusnya seperti defense dan yang lain.
Kamu bisa pergi ke blacksmith untuk mengupgrade rarity/level di settlementmu, dan meningkatkan tingkatan upgradenya sendirian di jalan.
Bangun Rumahmu
Hal menarik lain yang dihadirkan Assassin’s Creed Valhalla adalah sistem settlement. Di mana kamu akan memiliki rumahmu sendiri. Sistem yang sebelumnya sudah pernah hadir di Assassin’s Creed II tersebut kini diupgrade menjadi lebih baik. Kamu bisa membangun beberapa tempat seperti rumah untuk Assassin, Hytham, pabrik roti, hingga barrack.
Setiap rumah atau fasilitas yang kamu bangun akan membutuhkan sumber daya yang bisa didapatkan saat raid. Semakin banyak fasilitas yang kamu bangun, maka semakin tinggi pula level settlementmu.
Meningkatkan level settlement akan memberikanmu opsi untuk membangun fasilitas baru, mengupgradenya, hingga akhirnya semuanya penuh. Bangunan-bangunan ini juga memiliki fungsinya masing-masing, mulai dari memberikan skill pasif, jualan item, mengedit pasukan, hingga mengkustomisasi kuda, gagak, hingga tampilan visual karaktermu.
Dengan kata lain, kamu tak lagi bisa mengganti kuda hitammu dengan kuda putih tanpa pergi ke kandang kuda, atau mengubah gagakmu menjadi layaknya Senu milik Bayek. Ohya, kuda juga bisa diupgrade di sini lho biar dia bisa renang di air atau miliki stamina lebih banyak.
Fitur ini menjadikannya interaktif dan memiliki kegunaan sendiri, namun di sisi lain membuatnya kurang praktis. Terlebih ketika kamu membutuhkan perubahan cepat tanpa perlu loading sama sekali.
Gempur Musuh Keroyokan dengan Kustomisasi Pasukan!
Eivor diceritakan sebagai pimpinan raider atau pasukan tukang gempur markas musuh, maka tak lengkap rasanya jika Ubisoft tak memberikan fitur raid. Fitur ini bekerja sama persis dengan pertempuran di Odyssey, bedanya ia lebih interaktif tanpa harus mentransfermu ke sebuah area battle karena kamu bisa langsung masuk secara seamless.
Kamu bisa memanggil pasukanmu menggunakan terompet saat berada di markas musuh yang ditandai dengan ikon kapak merah. Atau kamu bisa berlayar bersama pasukanmu dan langsung gempur markas musuh.
Menariknya, sistem ini juga dilengkapi kustomisasi pasukan Bjornviking yang akan bisa kamu buat sendiri, membayar pasukan temanmu yang memainkan gamenya via fitur online, atau kamu temukan saat raid berlangsung.
Sayangnya, meskipun karaktermu telah kuat dan mampu lakukan one-hit-kill semua musuh, kamu tak bisa melakukan raid secara solo. Hal ini karena terdapat beberapa bangunan dan fitur tertentu yang hanya bisa dibuka dengan memanggil pasukanmu. Dengan kata lain, raid adalah fitur opsional wajib dan tak bisa diselesaikan dengan cara lain.
Cerita Interaktif dengan Pilihan Penuh Konsekuensi
Selain banyaknya fitur tersebut, tentunya kamu akan dihadapkan dengan kisah yang luar biasa interaktif dan tak terlupakan dari Assassin’s Creed Valhalla. Kamu akan dipertemukan dengan karakter yang mudah diingat dengan performa voice actingnya yang luar biasa.
Berbeda dengan game RPG kebanyakan yang nampak seperti berbicara menggunakan script, setiap karakter Assassin’s Creed Valhalla berbicara layaknya ngobrol dengan teman satu ruangan. Ia juga bersifat cukup fleksibel di mana ketika kamu telah lakukan raid di beberapa tempat tertentu, maka karaktermu akan bisa menceritakan hal tersebut.
Beberapa pilihan yang akan mempengaruhi dunianya juga ditambahkan dalam setiap ceritanya atau bahasa kerennya adalah butterfly effect. Pilihan ini bahkan tak hanya bisa diputuskan melalui dialog saja, melainkan kegiatanmu saat eksplorasi maupun quest. Membunuh seseorang dalam quest akan memberikan dampak yang berbeda ketika kamu tak membunuhnya.
Semua prosesnya akan berjalan dengan “tak terlihat” dan memberikan efek positif maupun negatif yang prosesnya bisa cepat atau lambat. Ia akan mengubah alur cerita dengan cukup konsisten, setidaknya hingga pertengahan cerita yang telah saya rasakan.
Sayang, sepertinya hal ini cukup berbeda dari kisah Layla Hassan, tokoh utama kedua yang membuat kisah Assassin’s Creed baik dari Origins, Odyssey, dan Valhalla menjadi kenyataan. Perubahan karakternya yang sangat drastis membuat kisah Layla terasa terlewati dengan banyak “episode”. Terlebih jika kamu tak memainkan ekspansi Atlantis dari Odyssey yang mana ditunjukkan referensinya di Valhalla saat Layla dipilih menjadi Guardian menggantikan Alexios/Kassandra.
Setelah kejadian di Atlantis, ia digambarkan sebagai seseorang yang “seolah garang”. Ia tak lagi menjadi wanita baik-baik dan mulai merokok untuk menghilangkan stres akibat insiden tersebut. Layla kemudian bergabung dengan tim baru mereka sesama Assassins, Shaun Hastings dan Rebecca Crane dalam misi mereka menyelamatkan dunia yang berujung pada temuan tulang Eivor.
Sayangnya, cerita Layla hanya terasa sebagai penumpang dalam kisah Eivor dan tak menjelaskan apapun tentang kisahnya sendiri. Ia tak berkembang dalam karakter tak seperti Eivor yang menjadi sorotan utama dalam kisahnya. Membuat kisahnya meninggalkan sebuah ketidakpuasan di sepanjang ceritanya.
Meskipun begitu, mereka juga berikan beberapa trivia kecil dalam kisahnya yang mungkin tak kamu sadari tentang bagaimana sebenarnya semua seri tersebut saling berhubungan satu sama lain. Mulai dari tahun 2013 hingga 2018, atau kisah Desmond hingga Layla. Sejak meninggalnya Desmond, terdapat banyak sekali benang yang Ubisoft tebar mulai dari kehadiran Sage, piece of eden, Assassins Brotherhood, Templar, hingga kini, kisah modernnya.
Bikin Kacau
Meski banyak sekali hal positif dengan minimnya hal negatif yang terjadi dalam gamenya, saya cukup menyayangkan sistem online yang dimiliki Assassin’s Creed Valhalla. Hal ini karena terkadang koneksi ke server Ubisoft membuat beberapa fiturnya kacau.
Sebagian besar tidak begitu mengganggu memang, namun terdapat beberapa error yang tak jarang membuatnya crash, UI yang mendadak kacau, hingga hal lain. Saya bahkan pernah merasakan bagaimana saya harus mengulang misi raid quest utama akibat error tersebut.
Kesimpulan
Assassin’s Creed Valhalla menjadi jawaban atas semua keluhan para fans tentang sistem yang mereka implementasikan sejak Origins. Racikan elemen RPGnya yang apik dan super detil membuatnya memang tak menjadi seri Assassin’s Creed pada umumnya, namun justru menyempurnakan target RPG yang mereka bangun sejak kisah Bayek dimulai.
Kamu bisa menggunakan banyak gaya bermain dari stealth maupun bar-bar dengan sistem side-quest yang diganti dengan mystery yang wajib kamu cari sendiri melalui clue yang ada. Battle dan animasinya yang rapi memberikan rasa sangat puas dari setiap musuh yang kamu bunuh.
Sementara, kisah utamanya dengan pendekatan naratif yang baru dan butterfly effect yang disempurnakan membuat keberanian Ubisoft untuk mengambil resiko melalui pendekatan ini terbayarkan dengan baik.
Kisah besarnya berikan beberapa trivia kecil dengan seri terdahulu dari zaman Desmond hingga Layla membuatnya cukup berhubungan erat dari panggung besar yang telah Ubisoft ciptakan.
Meskipun begitu, Assassin’s Creed Valhalla nampak bisa berdiri sendiri tanpa hubungan kisah dari serinya di masa lampau. Eivor menjadi bintang yang bersinar di dalam kelamnya konflik Viking dan politik yang terjadi di dataran Inggris.
8.5 Great
PC Version
Playtime: About 70-80 Hours, Story in the middle, Settlement Level 5, Equipment Max Upgrade (gold)
Pros
- Racikan RPG sempurna
- Jawaban Ubisoft atas keluhan fans
- Eksplorasi dan battle yang sangat memuaskan
Cons
- Kisah Layla tak bisa ikuti kecermelangan kisah utama
- Awal cerita utama yang lambat dan membosankan