Mari kita jujur sejenak. Komunitas gamer menjadi salah satu komunitas paling salty dan toxic dari seluruh macam komunitas yang ada. Mau itu saat didalam game atau di sosial media, gamer selalu gatal untuk mengkritik apapun yang mereka lihat. Charles Randall, programmer dan desainer dibalik seri Assassin’s Creed dan Splinter Cell: Blacklist ungkap jika budaya toxic pada gamer ini menjadi alasan utama mengapa developer lebih memilih diam ketimbang berbagi pengalamannya ke publik.
Dia mendapatkan komentar dari temannya yang berharap developer game lebih terus terang akan pengembangan game. Pada kenyataannya, mereka telah sering terbuka, hanya saja keterbukaannya selalu dibanjiri komentar salty dari gamer.
https://twitter.com/charlesrandall/status/911987526541430784
Randall kemudian memulai thread panjang untuk jelaskan lebih detil betapa besar efek negatif dari budaya gamer toxic kepada developer yang ingin terbuka soal pengembangan game mereka. Lewat thread ini dia menuliskan (Via Kotaku):
“Mereka protes dengan kami hanya terbuka dengan orang industri (game) lain. Tapi hal tersebut karena budaya gamer sekarang ini terlalu toxic yang membuat keterbukaan kami serasa mematikan untuk dibagikan ke publik. Lihat saja thread Twitter terbaru tentang trik untuk mendesain menjadi lebih baik – dibanjiri oleh gamer “ngamuk” karena merasa “dibohongi”.
Forum dan sesi komentar dipenuhi oleh spesialis kruger yang menunggu alasan apapun untuk jatuhkan developer. Lihat saja thread manapun dimana para orang bodoh berkomentar betapa “mudahnya” proses seperti menambah multiplayer atau ganti engine. Semua developer yang mencoba bersifat terus terang akan betapa sulitnya proses pengembangan game seperti ini hanya akan memancing ratusan orang mempertanyakan tulisannya. “Mempertanyakan” yang saya maksud adalah kata halus untuk “menjadi target para gamer untuk diserang atau lebih parah lagi.”
Masih banyak topik yang tak mampu saya bahas karena terakhir kali saya bersifat terbuka, hasilnya adalah headline konyol, kesalahpahaman dan saya diganggu. Jadi meskipun saya benar-benar ingin terbuka untuk bicarakan satu topik besar – Saya tahu semuanya akan berakhir dengan kumpulan orang brengsek mencoba jatuhkan saya.”
Randall sangat ingin berbagi cerita pengembangan game yang dia kerjakan kepada publik. Dia ingin berbagi kesulitannya dalam pengembangan game, cara dia menjawab masalah tersebut dan jalan pintas yang mereka ambil. Dia juga yakin tak semua gamer miliki sifat toxic ini. Hanya saja sebagian yang toxic ini membuatnya dan developer game lainnya pesimis untuk berbagi pengalaman mereka.
Di akhir thread panjang ini, dia menyarankan para gamer yang “benci apapun soal game” ini dengan “Lain kali jika kamu tak suka game, mungkin pertimbangkan untuk… pindah ke hal lain saja? Apa gunanya menyebarkan rasa benci dan toxic?”
Makin banyak developer game yang memilih diam saja khususnya setelah inside No Man’s Sky. Mereka takut akan terjadi kesalahpahaman dan jadi korban bully di internet selama satu tahun lebih bahkan setelah kamu perbaiki semua maslaah yang tak sengaja dibuat tersebut. Apabila kamu tak punya reputasi yang begitu baik serta disembah gamer layakanya Kojima, kemungkinan besar kamu akan di-roast oleh gamer untuk apapun yang keluar dari mulutmu.
Sayangnya, inilah kondisi komunitas gaming saat ini. Mereka hanya tahu hasil jadinya bagaimana tanpa pedulikan seberapa sulit tantangan developer untuk capai hasil jadi tersebut. Kamu bisa saja terbuka dan bicara soal budget game dan kenapa game terus-terusan ditunda, tapi tak banyak yang akan peduli. Yang ada malah mungkin kamu terus dimaki karena sering delay, dan saat game dirilis juga masih dimaki karena tak sesuai ekspektasi.
Solusi dari masalah ini? Ada dua. Antara dengan game developer lebih berani “mendidik” gamer akan sulitnya pengembangan game, atau menunggu keajaiban dimana gamer sadar untuk tidak gatal lagi untuk mengetik komentar toxic ke developer.
Source: Kotaku