Sulitnya menjadi developer video game di Indonesia.
Disclaimer: Artikel ini pernah kami angkat melalui postingan page Gamebrott yang bisa kamu cek di sini.
Seperti yang telah kita ketahui, developer video game lokal saat ini sedang berkembang ke arah yang lebih baik, terlebih di kancah internasional. Perilisan game horror DreadOut buatan Digital Happiness di PC melalui Steam yang kemudian diikuti perilisan Fallen Legion racikan MINTSPHERE di PS4 semakin berikan secercah cahaya bagi developer indie lokal lain untuk mengembangkan sayapnya ke pasar yang lebih luas.
Merilis sebuah video game ke PC khususnya melalui Steam memang cukup mudah. Developer hanya perlu membayar beberapa biaya yang dibutuhkan termasuk pajak dan menunggu persetujuan dari Valve sendiri selaku pemilik Steam untuk merilis gamenya. Namun hal yang sama tidak berlaku untuk console. Untuk merilis sebuah video game ke console ternama seperti PlayStation, Nintendo, maupun Xbox merupakan hal yang tidak mudah. Terlebih masalah “pengimport”-an development kit yang tidak miliki nilai retail sama sekali.
Bagi kamu yang belum tahu, development kit adalah benda yang tidak dijual sama sekali, lebih tepatnya barang ini adalah barang prototype untuk keperluan R&D (Research & Development). Jadi, akan susah untuk menentukan nilai pajak dari barang tersebut karena tidak ada harga retail. Bahkan difotopun sebenarnya tidak boleh karena ada NDA (Non Disclosure Agreement/Persetujuan Kerahasiaan) dari pihak developer yang mengikatnya.
Salah satu contoh Development Kit (Xbox 360 development kit) yang sebenarnya tidak dijual ke publik.
Terdapat tantangan tersendiri bagi developer indonesia untuk bawa development kit console tersebut dari para pembuat console seperti Sony, Nintendo, atau Microsoft ke Indonesia karena urusan administrasinya yang panjang dan tidak mudah. Beberapa developer Indonesia yang “terlihat” telah memiliki development kit console hanya dapat dihitung dengan jari, sebut saja MINTSPHERE dengan PlayStation 4-nya dan SEMISOFT dengan PlayStation 4, Nintendo Switch, dan Xbox One.
Infectonator 3 Apocalypse, game buatan Toge Productions yang akan dirilis di Steam tahun 2018 mendatang
Namun ketika hal ini diikuti oleh Toge Productions, sepertinya mereka harus menghadapi “masalah lain” dari pihak Bea Cukai Indonesia. Kris Antoni Hadiputra Nurwono selaku Founder sekaligus CEO dari Toge Productions yang ingin bawa development kit berupa Nintendo Switch untuk kepentingan perilisan game buatan mereka mau tidak mau harus terhambat di bea cukai.
Petugas bea cukai berdalih bahwa jika penumpang tidak mengisi form Surat Persetujuan Membawa Barang (SPMB), maka semua barang yang dibawa dari luar negeri akan dikenakan pajak. Sementara Kris sendiri tidak mengetahuinya karena tak diberitahu apapun tentangnya. Kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang peraturan seperti ini, mulai pajak yang harus dibayar dan lain sebagainya (dimana kami sendiri harus mengutak atik website perpajakan yang cukup membingungkan dari website http://eservice.insw.go.id/ hingga http://www.beacukai.go.id/ demi mengetahui nilai pajak tiap jenis barang yang harus dibayar) bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggungjawab untuk mengambil keuntungan darinya. Misalnya saja seperti menentukan pajak tak wajar atau yang lain untuk barang yang mungkin belum atau tidak terdaftar sama sekali.
Kris sendiri mengaku bahwa Nintendo tidak mau mengirim barangnya ke Indonesia, dan dari masalah di atas sepertinya kita tahu kenapa mereka tidak mau mengirimnya langsung ke Indonesia. Toge Productions akhirnya harus melakukan cara yang tidak umum dengan mengirimnya ke Singapura dan Kris sendiri harus mengambilnya di sana tanpa harus membayar sepeserpun.
Saat ini development kit yang akan digunakan Toge Productions masih ditahan oleh pihak Bea Cukai Indonesia. Kris mengaku telah bekerjasama bersama BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) untuk mengurus dan membebaskannya.