Selain juga dikenal sebagai sarana untuk bersosialisasi dengan para teman-teman sebayamu, pada dasarnya sekolah merupakan sebuah tempat untuk menimba ilmu atau belajar. Tidak hanya mengenai soal mendengarkan ataupun memahami saja, melainkan juga ketika kamu diminta untuk bisa mengaplikasikan apa yang telah sang guru ajarkan kepadamu dalam wujud tugas maupun ulangan.
Ingatan-ingatan mengenai pengalaman tersebut adalah kesan yang sempat saya rasakan ketika mencoba game baru ciptaan Frogwares yang berjudul The Sinking City. Game yang dirilis di platform PC, PS4, Xbox One, dan Switch ini pada dasarnya merupakan sebuah game Open World dengan nuansa horror Lovecraftian yang inspirasi temanya banyak diambil dari mitologi Cthulhu.
Bersetting di satu kota bernama Oakmont, kamu akan berperan sebagai seorang detektif bernama Charles Reed yang kebetulan diundang ke sana guna menyelidiki suatu misteri baik itu tentang Oakmont maupun pengalaman supernatural dirinya yang selalu melihat hal-hal aneh.
Yang cukup menarik, kota Oakmont digambarkan punya suatu latar belakang cerita sebagai kota yang telah rusak akibat bencana banjir besar. Frogware berhasil menyajikan suatu atmosfer kesuraman yang nampak nyata dan berkesan. Terutama ketika melihat bentuk penataan puing-puing bangunan yang rusak maupun tenggelam sampai kamu perlu menjelajahinya dengan menggunakan perahu motor.
Dimana semuanya itu mampu mereka komposisikan secara rapi ke dalam bentuk dunia open world yang penuh seni. Namun, sayangnya pesona tersebut tidaklah berbanding lurus dengan model desain-desain level di bagian interior rumah atau gedung yang bisa dimasuki. Dimana semuanya nampak terlihat sama dan minim variasi.
Selain biasa dianggap sebagai game open world dan horror, The Sinking City juga mempunyai semacam model gameplay ala investigasi maupun detektif. Jika kamu cukup familiar dengan game-game Frogwares sebelumnya seperti “Sherlock Holmes“, hampir semua sistem gameplaynya betul-betul diadopsi secara telanjang dalam game The Sinking City dan menjadi satu “core” yang saya sebut paling terutama dari game ini.
Sehingga oleh karenanya, game ini bukanlah satu game yang cukup cocok untuk dimainkan oleh para kasual. Apalagi bila kamu tidak terlalu punya pemahaman bahasa Inggris yang baik. Karena seperti dalam game Sherlock Holmes (versi Frogwares), The Sinking City tidak akan pernah memberimu panduan langsung mengenai tempat mana yang harus kamu jelajahi, spot yang harus kamu investigasi, dan NPC mana yang akan kamu interogasi. Semuanya itu perlu kamu ketahui sendiri dengan mencermati beragam petunjuk bukti yang sudah kamu peroleh.
Bagi saya, ini adalah suatu pengalaman memainkan game open world yang sangat menarik dan positif. Ibaratnya seperti saat kamu sedang diajari oleh guru di sekolah dan dites di saat yang bersamaan. Jika kamu sudah mulai terbiasa dengan hal tersebut, bukan tidak mungkin bila daya kecermatan maupun ketangkasanmu dalam memecahkan suatu masalah di game ini dapat pula diaplikasikan di dunia nyata.
Mengingat bahwa The Sinking City adalah game horror, game ini juga mewajibkanmu untuk harus selalu menyiapkan mental yang kuat ketika terjun ke sana. Kamu harus membiasakan diri untuk berjumpa dengan semacam mahluk monster berwujud seperti mahluk Silent Hill yang bernama “Wylebeast“. Hadir dalam beberapa varian baik yang terlemah maupun yang terkuat, mereka betul-betul akan memberimu suatu tantangan tersendiri yang terkadang dapat membuatmu frustasi.
Mereka sendiri biasa dihadirkan dalam momen yang mengagetkan dan merepotkan. Selain dari kecenderungan para Wylebeast yang gemar dalam mengeluarkan suara-suara yang menganggu, sayangnya karaktermu hanya dibekali dengan persenjataan api dan kemampuan bertarung yang amat sangat terbatas. Sehingga berusaha untuk sebisa mungkin menghindarinya memang adalah pilihan yang paling bijak.
Namun, jika kamu kebetulan berada di tempat investigasi dan menemui mereka dalam jumlah banyak, kamu nampaknya harus terpaksa meladeni para mahluk-mahluk yang tidak elok ini. Aspek combatnya sendiri sayangnya tidak terlihat dipoles dengan begitu baik. Justru cenderung kaku dan sangat “punishing” terhadap sedikitnya kecerobohan yang kamu lakukan terlepas dari adanya semacam sistem item crafting di game ini.
Terlepas dari sistem combatnya yang agak terlihat “broken”, saya tetap apresiasi penuh frogware yang mampu mengimplementasikan suatu sistem gameplay yang bagi saya inovatif, yakni berupa keberadaan mental atau sanity bar (dalam wujud bar biru di samping health bar). Bar ini punya suatu fungsi yang cukup unik. Dimana karaktermu bisa merasa panik hingga berhalusinasi jika barnya terus turun.
Bahkan, sosok monster yang muncul dalam halusinasimu terkadang bisa termanifestasi secara nyata di saat karaktermu berada dalam kondisi mental yang sangat memprihatinkan. Baik itu terjadi karena melawan para musuh, membunuh civilian, ataupun menemukan hasil investigasi dari suatu kasus. Efek halusinasinya pun betul-betul digarap dengan sangat maksimal dan mampu memberi sebuah kengerian psikologis yang amat berkesan.
Dari sekitar 7 jam pengalaman saya dalam memainkan game yang tergolong horror dan memeras otak ini, untuk sementara mungkin hanya itu saja yang dapat saya jabarkan. Detail-detail sekaligus hasil review lebih lengkapnya dapat kalian semua nantikan dalam beberapa hari mendatang.
Baca pula informasi menarik lain seputar dunia video game dari saya, Ido Limando