“Masa depan industri game adalah cloud gaming”, mungkin ini dari kalimat tersebut tak jarang diungkapkan para developer handal industri game. Mulai dari sang kreator legendaris – Hideo Kojima hingga sang publihser sekaligus developer raksasa – Ubisoft mengamini hal tersebut. Arah yang terlihat revolusioner tersebut perlahan semakin dikembangkan, dan salah satu yang paling ambisius adalah Google.
Pengumuman Google terkait platform cloud gamingnya – Stadia memang sempat menggemparkan jagat industri game. Akhirnya sebuah teknologi yang selama ini telah diramal dan dinantikan akan segera terwujud. Namun sayangnya, ekspetasi hanyalah sekedar ekspetasi, hanya ada dua jawaban, terpenuhi dan tak terpenuhi, dan sayangnya Stadia memberikan jawaban kedua. Pada hari perilisannya yang telah dinantikan tersebut, Stadia gagal memenuhi segala ekspetasi yang diharapkan, ia bahkan tak cukup matang untuk memberikan experience gaming yang optimal.
1. Butuh Koneksi Internet Super Cepat & bandwidth yang Mencekik
Ada banyak masalah yang menggerogoti cloud gaming yang satu ini, mulai dari karena ia berbasis cloud gaming, tentunya Stadia memerlukan koneksi yang cepat untuk dijalankan. Namun sayangnya, kecepatan koneksi internet yang dibutuhkan terbilang tidak main-main, untuk menjalankan game dengan resolusi 720p & 1080p, setidaknya kalian membutuhkan kecepatan 10Mbps & 20Mbps stabil
Bandwith yang dihasilkan pun untuk perjamnya dengan resolusi sedemikian rupa adalah 4.5GB & 9GB. Tentu jika dimainkan selama berjam-jam perharinya akan memakan bandwidth yang sangat besar. Tentunya bagi pengguna internet rumahan yang mengandalkan FUP, hal ini akan sangat menyiksa. Jika kurang merasa kurang, bahkan kalian bisa menggunakan opsi 4K untuk melihat kemampuan tertinggi Stadia.
2. Bohong Soal Kualitas 4K
https://twitter.com/Nitomatta/status/1196485009315520512
Namun sayangnya untuk opsi 4K tersebut, beberapa sumber ternama seperti 9to5Google, Verge,dan Eurogamer memberikan fakta bahwa ternyata Stadia berbohong tentang kualitas tersebut. Bagi user yang punya kecepatan internet super kencang memang bisa mengakses pilihan 4K tersebut, namun kualitas yang disajikan tak menyatakan kualitas tersebut. Kualitas 4K yang tersaji ternyata merupakan upscaled alias “ditarik” dan bukannya native. Dua buah game yang dites, Destiny 2 berjalan 1080p upscaled to 4K, sedangkan Red Dead Redemption 2 berjalan 1440p upscaled 4K.
Bahkan jika dibandingkan dengan versi console, kualitas yang dibilang “4K” milik Stadia tersebut justru terlihat lebih buruk. Secara teknis Stadia memang menjalankan game tersebut secara 4K, namun fakta bahwa resolusi dari game yang dijalankan tersebut ternyata merupakan upscaled telah menuai berbagai kritik tajam.
3. Latency yang Tak Responsif
Selain kebutuhan kecepatan yang cepat dan konsumsi data yang besar, masalah lainnya juga datang dari masalah latency. Meski punya koneksi internet yang stabil, banyak pengguna Stadia yang mengeluhkan masalah latency ini, dimana data control yang diinput sering kali terasa terlambat masuk. Misalnya saat menekan tombol input untuk memukul, maka karakter baru akan memperlihatkan gerakan memukul beberapa saat setelahnya, ada jeda 0,xx detik, bahkan hingga beberapa detik sekalipun.
4. Sistem Subskibsi dan Harga Game yang Mahal
Tak hanya masalah teknis, masalah lainnya juga datang dari apa yang ditawarkan oleh Stadia sendiri. Sebagai console “tak nyata”, Stadia menjual layanan yang berbentuk subskibsi, jadi user harus membayar sebesar 10 USD atau sebesar Rp140.000 perbulannya. Sementara untuk bermain menggunakan controller “eksklusifnya”, pelanggan harus menggelontorkan dana sebesar 69 USD percontrollernya. Setelah itu, untuk memainkan game yang telah rilis, user harus membeli game tersebut layaknya pada console lainnya dengan harga yang serupa. Tentunya hal tersebut terasa lebih menguras kantong dibandingkan bermain game di platform lainnya.
5. Masih Ada Bug yang Menggerogoti
Salah satu hal paling menjengkelkan bagi gamer tentu adalah bug, kutu yang mengganggu experience permainan tersebut jadi salah satu hal yang harus diwaspadai. Namun sayangnya, dalam Stadia, hal tersebut masih saja ada, yang paling ditemui adalah, dimana Stadia akan mendownload file update dari sebuah game, salah satunya adalah yang terjadi pada NBA 2K20.
Tentu ini jadi pertanyaan besar, bagaimana bisa sebuah platform cloud gaming diwajibkan mendownload update? Hal tersebut langsung dikonfirmasi oleh pihak Stadia, bahwa hal tersebut sebenarnya adalah bug yang seharusnya tidak diperlihatkan pada para player.
Dari banyaknya masalah yang ada tersebut, memang yang paling utama menggerogotinya adalah dari sisi “dunia” itu sendiri. Besarnya kecepatan kebutuhan internet dan besarnya bandwith yang termakan memang bakal jadi tantangan besar. Di Amerika yang notabene negara berkembang dengan kebutuhan internet yang cukup memadai, masalah tersebut masih menggerogoti Stadia.
Tentunya bagi negara dunia ketiga seperti Indonesia, teknologi cloud gaming seperti Stadia ini bisa dikatakan hampir sepenuhnya belum siap. Penyebaran koneksi stabil yang belum merata, layanan internet yang belum mempuni, hingga tingkat ekonomi yang belum stabil membuat Stadia “belum siap” untuk dinikmati semua gamer dari seluruh penjuru dunia. Basisnya sebagai cloud gaming memang membuatnya bisa diakses kapan saja dan dimana saja tanpa membutuhkan perngkat hardware yang mempuni, namun sekali lagi, yang paling menentukan adalah koneksi internet itu sendiri.
Bagaimana menurut kalian sendiri, apakah dengan kegagalan ini Stadia akan mampu kembali membuktikan tajinya di masa depan, dimana dunia sudah cukup matang untuk menanganinya?
Baca juga berita atau artikel menarik lainnya dari Author.
Contact: erenhartd@gamebrott.com