Little Nightmares II Sangat Traumatis – Siapa yang masih ingat dengan game Little Nightmares II? Sebuah game side-scrolling horror yang mana pemain hanya memiliki satu tujuan: kabur. Dibandingkan dengan seri pertama, judul kedua ini justru lebih meninggalkan bekas terhadap para gamer.
Bekas yang tertinggal pun tak pula merupakan hal baik. Bagi saya pribadi, saya cukup terganggu dengan beberapa aspek yang dihadirkan. Membuat saya duduk merenung berpikir dan meratapi pilihan hidup saya selama ini—khususnya terhadap orang-orang di sekitar saya.
Daftar isi
Kenapa Game Little Nightmares II Sangat Traumatis?
Saya sudah yakin jawaban daripada para pembaca sekalian adalah “ya iyalah traumatis. wong endingnya—” Sst! Kita bahas endingnya di poin belakangan. Banyak gamer di beberapa forum diskusi membahas kenapa dunia Little Nightmares begitu gelap dan tidak seperti dunia normal.
Namun, menurut saya kita tak seharusnya berfokus pada asal mulai kenapa semua keanehan tersebut terjadi sebab game ini dibungkus dengan sesuatu yang tidak sesederhana itu. Little Nightmares 2 dikemas oleh kompleksitas yang sebenarnya memicu trauma masa kecil.
Benar, jika kita lakukan kilas balik, ada beberapa aspek di dalam game ini, khususnya di judul ke-2 Little Nightmares, yang mungkin tidak kamu sadari memicu trauma masa kecilmu. Yang saya yakin, jika dipikir-pikir akan relate ke beberapa orang.
Ketakutan yang mungkin masih membekas dan tak ingin kamu alami lagi meskipun sudah besar. Yang mungkin menjadi penyebab mengapa game ini diberi judul “Little Nightmares”.
1. Penculikan Anak – anak
Penculikan masih menjadi isu dan masalah yang harus diwaspadai oleh masyarakat Indonesia. Jadi, dia tidak hanya memicu trauma masa kecil namun ia juga masih menjadi kewaspadaan.
Dalam Little Nightmares 2, ketakutan anak – anak yang takut banget diculik bisa dibuktikan dengan diculiknya Six (diceritakan di komik Little Nightmares) dan ia dikurung hanya dengan ditemani oleh sebuah kotak musik.
Gausah jauh – jauh ke bagian Six, deh. Di awal kalian memulai permainan saja kalian bakal disuguhi dengan pemandangan sebuah trap yang terbuat dari tali, yang di dalamnya diisi oleh seonggok anak – anak seusia dan seukuran Mono (tokoh utama).
Jadi, di sini dijelaskan bahwa musuh pertama kita, The Hunter, adalah pemburu yang memburu anak – anak. Syukur – syukur bisa selamat seperti Six dan Mono, kalau ternyata bernasib buruk seperti anak – anak lain?
2. Makan Bersama Keluarga
Masih di bagian awal permainan, ketika Mono masuk ke dalam rumah untuk mencari kunci, ada kalanya kalian bakal bertemu dengan tiga boneka yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Disamping dari makanannya yang memang tak sedap bahkan hanya untuk sekedar dipandang, developer berhasil memicu trauma masa kecil beberapa gamer (khususnya saya).
Kondisi kegiatan makan bersama itu terlihat tak harmonis. Sesuatu yang selalu saya takutkan jika sedang makan bareng keluarga. Kadang ada perbincangan menyinggung yang membuat makanan di depan mata menjadi tak sedap.
Mungkin pembaca ada yang relate? Rasanya jadi pengen makan sendirian aja gak, sih?
3. Guru yang Galak
Move on dari hutan, perjalanan Mono dan Six dilanjutkan ke sekolah. Sekolah ini bukan pula sembarang sekolah, bahkan tak bisa disebut sebagai tempat yang layak untuk menuntut ilmu.
Namun, yang membuat kehidupan sekolah lebih mengerikan adalah adanya guru yang super duper galak. Ingat kah kalian pada scene di mana guru tua di Little Nightmares 2 ini tampak membawa penggaris untuk menghukum murid?
Belum lagi dengan lehernya yang bisa memanjang seperti ular, seakan bisa memantau seluruh pergerakan muridnya bahkan yang duduk di paling belakang sekalipun.
Berkatnya, suasana tegang dan menakutkan tercipa di dalam kelas. Tidakkah dia mengingatkan kalian dengan guru killer kalian semasa sekolah?
4. Pembullyan
Apa yang lebih mengerikan daripada eksistensi guru galak di dalam kelas? Betul. Perundungungan atau bully dari teman – teman di sekolah. Dimana seharusnya mereka menjadi temanmu berdiskusi dan bermain, justru menjadi musuh yang membuatmu jadi males banget ke sekolah. Bersiaplah, di poin ini saya bakal bacot panjang lebar.
Bukti pembullyan ini tidak hanya sekali dua kali diperlihatkan di bagian sekolah. Cukup sering adegan perundungan ini diperlihatkan bahkan sampai harus mengalami kematian. Dan satu-satunya cara pemain agar bisa survive dari perundungan ini adalah dengan mengenakan topeng yang sama dengan mereka.
Hal ini memberikan indikasi serta petunjuk yang jelas bahwa kasus perundungan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sepele. Sekecil apapun bentuknya, setiap sekolah pasti memiliki kasus seperti ini di kalangan murid.
Biasanya terjadi jika salah satu murid terlihat berbeda dengan murid lain. Murid – murid malang ini akan mendapatkan perlakuan yang berbeda pula dari teman – temannya. Contohnya saja bisa kita lihat bagaimana Mono berusaha menyelamatkan diri dari kejaran murid brutal karena dia tampil berbeda.
Sayangnya, orang dewasa kerap menganggap hal tersebut hanya sebagai ‘kenakalan anak – anak’. Padahal sesuatu yang seperti itu seharusnya tidak bisa dibenarkan. Bagaimanapun, anak – anak berhak mendapatkan HAK dan KASIH SAYANG yang sama rata.
5. Takut sama Dokter
(penulis tarik nafaaas, lalu hembuuus~) Akhirnya kita move on ke poin selanjutnya yang pastinya relate banget sama masa lalu beberapa gamer bahkan anak – anak zaman now. Tidak sedikit anak – anak yang merasa takut dengan dokter.
Apalagi kalau ada kegiatan suntik menyuntik di sekolah yang bikin anak – anak trauma dengan jarum suntik. Well, tak hanya jarum suntik, terkadang anak – anak juga sudah memiliki stigma bahwa Dokter memiliki banyak alat dan benda tajam untuk mengoprek – oprek tubuh manusia.
Belum lagi di tempat boss dokter ini tinggal adalah latar rumah sakit yang identik dengan kamar mayat. Latar kamar mayat dan pengawetannya bahkan tempat untuk kremasinya pun divisualisasikan di sini.
6. Takut akan Kegelapan
Tak hanya anak – anak, saya yakin orang dewasa pun merasa seram jika terjebak di ruangan dengan minim cahaya. Little Nightmares 2 menegaskan bahwa manusia punya rasa takut terhadap kegelapan sebab manusia adalah makhluk visual.
Setelah sekian lama berkembang, kini kita telah menjadi makhluk yang sangat tergantung pada informasi visual, dimana informasi visual ini tentu membutuhkan cahaya untuk bisa diakses. Sehingga, jika informasi visual tersebut absen dari kehidupan (kegelapan), maka manusia akan merasa tak aman.
Rasa takut terhadap gelap ini juga dipresentasikan dalam Little Nightmares 2. Anak – anak bahkan orang dewasa yang takut terhadap kegelapan akan merasakan bahwa mereka akan selalu diikuti oleh entitas yang tak jelas,
Dalam game Little Nightmares 2 sendiri, entitas tak jelas itu divisualisasikan dalam bentuk manekin yang akan terus mengejar Mono jika tidak Mono tidak mengarahkan senternya ke arah manekin – manekin tersebut.
Orang yang mengalami Nyctophobia (takut kegelapan) pasti cukup relate dengan kondisi Mono yang sulit saat itu. Mereka akan merasakan kecemasan yang sama dimana mereka merasa sedang diawasi.
7. Terlalu Terikat dengan Media
Pemandangan dan kondisi manusia di Pale City mungkin cukup menjadi tamparan keras untuk kita semua. Dimana, dewasa ini manusia semakin terpaku perhatiannya pada media; baik sosial maupun tidak.
Little Nightmares 2 menyindir kita dengan visualisasi dimana para penduduk Pale City tidak peduli dengan hal lain selain TV di depan mereka sampai mereka tak memiliki wajah. Mereka hanya akan mengamuk jika TV tersebut dimatikan dan ia mlulai mengejar pemain untuk melampiaskan amarah mereka.
Isu ini juga disindir oleh Little Nightmares 2 dengan cara membuat para penduduk satu persatu meloncat bunuh diri yang berada di bawah kendali Signal Tower, sesuatu yang memiliki hubungan dengan TV yang ditonton mereka.
Artinya, Little Nightmares 2 benar – benar menyindir keras kita semua dapat menjadi berbahaya jika kita terlalu lengket dengan perangkat kita dan bagaiamana kita justru diperbudak oleh.
8. Pengkhianatan
Ini adalah poin terakhir sekaligus poin yang saya yakin paling dinantikan untuk dibahas di artikel ini. Yang mana cukup untuk menjadi penutup segala mimpi buruk yang sudah dilewati pemain di sepanjang game berlangsung.
Terlepas dari teori – teorti yang berseliweran mengenai pengkhianatan Six, tetap perbuatan Six yang satu ini tidak bisa termaafkan sama sekali. Dan sangat membuat hati saya pilu (TMI, saya bahkan nangis kejer).
Bayangkan saya, segala perjalanan dan perjuangan yang kita lakukan selama ini bersama – sama, mempertaruhkan darah keringat dan air mata justru dibalas dengan air tuba oleh Six di penghujung permainan.
Saya yakin, pengkhianatan bukanlah ketakutan yang dirasakan oleh anak – anak saja, tapi juga orang dewasa di segala usia. Tindakan ini diibaratkan sebagai sebuah pisau tajam yang menusuk siapa saja yang paling tidak siap.
Tentu ada pelajaran yang bisa diambil dari ending game ini tanpa perlu saya diktekan. Saya sendiri jadi teringat quotes dari Ghost, karakter favorit saya di Call of Duty, yang benar – benar saya pegang teguh: “Hati – hatilah pada siapapun yang kamu percaya. Orang yang kamu kenal, bisa lebih menyakitimu.”
Dan pada akhirnya, sebuah pengkhianatan bisa berdampak sangat besar bagi seseorang. Anggap saja Mono yang berubah menjadi Thin Man diibaratkan sebagai sebuah dampak buruk yang timbul dalam diri seseorang ketika mengalami pengkhianatan.
Seseorang bisa merasa ‘trust issue’ terhadap orang lain karena luka yang ia terima, atau lebih parahnya, ia justru dapat melakukan hal serupa. Sebab, kepercayaan sudah dibelot, kejujuran sudah dihancurkan dan ia disalahgunakan.
Itulah beberapa penjelasan mengapa game Little Nightmares 2 traumatis bagi para gamer. Bahkan poin – poin di atas saya rasa cukup bisa dijadikan tamparan kepada orang – orang dewasa (termasuk saya sendiri) untuk lebih memperhatikan ketakutan anak-anak yang kita anggap sepele.
Baca juga informasi menarik Gamebrott terkait Little Nightmares atau artikel lainnya dari Sofie Diana. For further information and other inquiries, you can contact us via author@gamebrott.com