[Opini] Kenapa Gamer di Indonesia Masih Banyak Menganggap Game Pixel Burik?

Game Pixel Burik

Game Pixel Burik – Di awal perkembangannya, video game hadir dengan game-game pixel bermekanik sederhana yang mungkin di zaman sekarang dari segi grafis sering disebut game pixel burik atau buram, layaknya gambar zaman dahulu.

Walaupun begitu, mulai banyak video game modern yang mengadopsi gaya pixel art karena tingginya penikmat pixel art dalam industri game.

Gamer Indonesia Masih Banyak Menganggap Game Pixel Burik

A Space for The Unbound

Sayangnya, masih banyak yang menganggap bahwa game pixel merupakan sebuah kelemahan atau kemunduran dalam produksi video game. Di Indonesia sendiri, perdebatan mengenai grafis pixel kembali mencuat selepas rilisnya game lokal berjudul A Space for The Unbound oleh Toge Productions.

Berbanding terbalik dengan respon komunitas game global, komunitas game tanah air justru masih banyak yang menyatakan tidak sukanya terhadap game yang menggunakan pixel art ini. Sebutan seperti ‘burik’ ataupun “game burik” kerap dilontarkan untuk mendeskripsikan game tersebut beserta game-game bergrafis pixel.

Lantas, apakah yang memengaruhi banyak gamer di Indonesia sehingga berpikiran demikian? Berikut beberapa alasan yang mungkin turut memengaruhi perspektif gamer yang masih sering menyebut game pixel burik.

Orientasi Visual Terhadap 3D dan Realisme

Tampilan karakter gaya realisme dalam game FIFA 23

Sejak lama, game yang tren di kalangan gamer mainstream Indonesia memiliki grafis yang lebih modern di kelasnya. Fenomena ini bisa kita jadikan alasan mengapa masih banyak gamer Indonesia yang menganggap bahwa game berbasis pixel art adalah burik.

Di era PS1, game-game yang diklasifikasikan sebagai game terbaik oleh gamer Indonesia umumnya menggunakan grafis 3D polygon dengan gaya realisme seperti Tekken 3, WWF Smackdown 2, Digimon World, FIFA Soccer 2005, dan masih banyak lagi.

Hal ini dipercayai membentuk pemahaman bahwa video game yang menyuguhkan tampilan 3D dan dapat menyerupai visual dunia nyata adalah game yang memenuhi standar modernitas.

Hal tersebut lantas berlanjut hingga ke era PS2, PS3, hingga game mobile atau smartphone. Jadi, gak heran brott kalau banyak gamer Indonesia yang nyaman dengan grafis 3D serta memiliki artstyle realisme. Orientasi visual mereka sudah dibentuk dari tren-tren game yang masuk ke Indonesia.

Tren Mobile Gaming

Mobile Legend, salah satu game smartphone bergrafik HD dan 3D

Tren game dengan grafis 3D yang berusaha menyerupai dunia nyata tidak hanya berlaku untuk game konsol aja, brott. Pada platform smartphone, game yang hype dan banyak dimainkan oleh gamer Indonesia juga memiliki grafik 3D dan juga yang mengadopsi gaya realisme.

Kerap ditemui para reviewer di aplikasi penyedia game yang menekankan ulasan game pada grafis. Menurut mereka, sangat menakjubkan apabila ada game mobile yang grafisnya bagus mengingat smartphone notabenenya tidak dikhususkan untuk gaming.

Selain realisme, artstyle ala anime dan kartun 3D juga menjadi daya tarik tersendiri bagi mobile gamer di Indonesia. Beberapa game tersebut yang sempat ngetren di antaranya LINE Let’s Get Rich, Mobile Legends, Genshin Impact.

Fenomena ini dipercaya semakin menutup pemahaman dan potensi ketertarikan gamer terhadap game yang tidak mengadopsi gaya 3D, salah satunya pixel art.

Pemahaman atas Pixel sebagai Estetika Tersendiri

Octopath Traveler 2, game yang menggabungkan estetika 2D dan 3D

Sebelum hadirnya video game dengan grafis 3D ciamik dan dapat dimainkan dengan kualitas HD hingga 4K, video game mulanya muncul dengan grafis pixel 8-bit hingga 32-bit. Bahkan, sebelumnya lagi game hanya berbasiskan teks aja lho, brott!

Game pixel 8-bit tahun 1980-an seperti Mario Bros, The Legend of Zelda, Dragon Quest, serta game pixel 16-bit seperti EarthBound, Secret of Mana, Pokemon Fire Red di tahun 1990-an menjadi cikal bakal pixel art modern yang masih banyak diadopsi dan digemari para gamer.

Dengan menekankan aspek nostalgia, banyak developer game yang berlomba-lomba mengadaptasi pixel art 8-bit dan 16-bit di tengah maraknya game dengan grafis HD. Ditambah lagi, game farming simulator besutan ConcernedApe berjudul Stardew Valley mendapat respon positif dari komunitas gamer di dunia.

Artstyle pixel art dalam Stardew Valley

Kesuksesan Stardew Valley kemudian merambat di industri game global, di mana para developer menyadari bahwa komunitas gamer masih menyenangi game berbasis pixel art. Hingga sekarang, game berbasis pixel art dianggap sebagai salah satu estetika atau artstyle tersendiri yang tidak menandakan ketinggalan zaman atau sebuah kelemahan.

Sayangnya, di Indonesia, belum banyak yang memahami mengenai pergeseran cara pandang terhadap pixel art. Masih banyak dari komunitas gamer kita yang melihat pixel art sebagai suatu keterbelakangan dan berbanding terbalik dengan grafis modern.

Nah, di sini kita yang sudah mengerti bisa bantu mengedukasi teman-teman gamer yang masih menyebut game pixel burik, brott!

Diasosiasikan dengan Masa Lalu dan Ketinggalan Zaman

Super Mario Bros. (1985)

Semakin berkembangnya teknologi, grafis 3D yang biasanya mengadopsi gaya realisme juga semakin canggih dalam meniru detail dunia nyata. Hal tersebut lah yang biasanya menjadi patokan para gamer dalam mengartikan kemodernan sebuah game dari kualitas grafis realismenya.

Jelas aja, brott, kalau mereka menganggap pixel art tidak modern, karena jauh sekali dengan gaya realisme. Dari sisi penggemar artstyle non-realisme pun juga pixel art kurang diminati karena pixel sendiri berbeda dengan gaya anime seperti yang diadopsi Honkai: Star Rail.

Karakter pixel art yang patah-patah dan buram juga sudah kepalang melekat dengan identitas game zaman dulu. Dengan begitu, tampilan pixel art dalam game sering menjadi elemen satu-satunya yang dinilai oleh gamer sehingga sampai ke kesimpulan bahwa game pixel burik. Padahal, banyak game berbasis pixel art yang mekanik gameplay-nya sudah modern lho, brott!

Bikin Sakit Mata

Sonic the Hedgehog (1991)

Selain preferensi pribadi, banyak juga yang tidak menyenangi game pixel burik karena bikin sakit mata! Sejujurnya, penulis juga cukup setuju mengenai alasan ini. Namun, jika diulik lebih lanjut, bukan semata-mata pixel art sebagai artstyle yang membuatnya tidak sedap dipandang, melainkan komposisi di dalam pixel art itu sendiri.

Beberapa game pixel art memang memiliki saturasi warna yang vibrant dan terbilang tajam. Digabungkan dengan grafis kotak-kotak ala pixel, tentu saja menjadikan game pixel burik secara keseluruhan bikin mata perih.

Bahkan, ada beberapa yang menganggap Stardew Valley juga memiliki komposisi yang tidak ramah di mata. Sehingga, banyak para modders yang menciptakan mod reshade untuk memperlembut komposisi warna dan grafis pixel Stardew Valley.

Pixel sebagai gaya yang timeless belum bisa diterima sepenuhnya sebagai konsep tersendiri oleh sebagian gamer di Indonesia. Preferensi pribadi, kurangnya pemahaman, serta kebiasaan gaming menjadi alasan-alasan utama yang menurut penulis melatarbelakangi fenomena ini.

Walau begitu, bukan berarti game pixel burik tidak diterima sama sekali oleh komunitas gamer di Indonesia. Buktinya, game lokal berbasis pixel art berjudul Citampi Stories berhasil menarik banyak peminat.

Kalau kalian termasuk peminat atau anti pixel art nih, brott?


Baca juga informasi menarik Gamebrott terkait Game Burik dan artikel lainnya dari Dimas Ponco. For further information and other inquiries, you can contact us via author@gamebrott.com.

Exit mobile version