Sistem FUP Internet – Gak bisa dipungkiri kalau internet memang menyimpan banyak sekali hiburan yang mungkin sulit untuk didapatkan di dunia nyata. Entah itu sekadar berselancar media sosial, membaca manga atau light novel, bermain game, atau mendengarkan musik favorit, semua bisa dilakukan dengan mudahnya.
Namun, semua kemudahan yang dapat kita nikmati tersebut terbatas rasanya berkat sistem Fair Usage Policy (FUP) yang diterapkan beberapa Internet Service Provider (ISP) di tanah air, dengan segudang alasan di balik penerapan sistem tersebut.
Lalui opini kali ini, kami akan mengajakmu untuk membahas mengapa sistem FUP internet di Indonesia merupakan hal buruk bagi konsumen.
Disclaimer: Harus dicatat bahwa opini yang tertulis ini merupakan pendapat penulis pribadi berdasarkan pengamatan penulis terhadap komunitas dan pengalaman pribadi karena harus berjibaku dengan internet plat merah.
Daftar isi
Sistem FUP dan Kontroversi di Baliknya
Memahami fenomena ini pastinya membutuhkan pemahaman lebih mendalam tentang apa itu FUP, dan mengapa para provider menerapkannya. Bagaimana tidak, akses ke portal dunia maya yang saat ini masih saja relatif mahal di tanah air, kini semakin terbatas saja dengan bermacam aturan.
Berdasarkan klaim dari ISP Indonesia, FUP adalah sebuah kebijakan yang diterapkan oleh provider demi menjamin kenyamanan konsumen saat gunakan internet. Dengan adanya ‘aturan main’ tersebut, diharapkan para konsumen dapat menikmati layanan internet dengan kecepatan yang stabil dan konsisten.
Di sisi lain, sistem FUP ini konon diciptakan guna mencegah penyalahgunaan layanan oleh sejumlah kecil konsumen yang ‘serakah’. Di mana konsumen tersebut gemar menghabiskan kuota bandwidth sampai ganggu kualitas layanan konsumen lainnya. Sayangnya, aturan main ini justru bak pedang bermata dua, yang menurut kami justru lebih banyak minusnya.
Ya gimana enggak, sudahlah susah payah menyisihkan uang untuk membayar paket internet tiap bulannya, kita selaku konsumen tetap saja harus berhadapan dengan batas pemakaian wajar yang bakal di-reset setiap bulannya.
Menariknya, di satu sisi terdapat beberapa konsumen yang merasa bahwa batas pemakaian wajar yang diterapkan oleh bermacam provider merupakan hal yang ‘wajar’. Mereka merasa limit 5-10TB merupakan ambang batas pemakaian yang sangat wajar dengan uang yang mereka keluarkan setiap bulannya.
Menariknya, di sisi lain, justru kebanyakan konsumen mengeluhkan adanya sistem FUP tersebut karena setelah mereka gunakan internet sampai batas pemakaian tertentu, maka kecepatan internet akan berkurang sampai seperempat yang dijanjikan.
Jadi Ladang Bisnis Bagi Provider untuk Menambah Pemasukan?
Bila kita analisis sistem FUP ini lebih dalam berdasarkan feedback mayoritas masyarakat Indonesia terhadap implementasi batas pemakaian wajar ini, kebanyakan justru merasa bahwa adanya batasan dalam paket internet yang mereka bayar setiap bulannya tidak adil, dan malah merugikan.
Malahan, beberapa ada yang berpendapat bahwa semua ISP tanah air mampu menawarkan akses internet tanpa batas, dan tanpa harus membatasi pemakaian internet bulanan mereka dengan dalih ‘pemakaian wajar’. Katanya sih, batas yang diterapkan tersebut dapat menjaga kualitas jaringan tetap terjaga.
Dari sini, kebanyakan justru berpendapat bahwa adanya sistem limitasi ini malah menjadi ladang bisnis bagi bermacam provider untuk menambah pemasukan. Dengan adanya sistem FUP, para provider nantinya dapat menjual paket tambahan atau ‘booster’ kepada para konsumen yang mencapai batas pemakaian.
Walau dalam kacamata bisnis hal ini merupakan cara yang cerdas untuk meraup keuntungan, namun bila dilihat dari sisi konsumen, hal ini pastinya malah membebani pelanggan dengan biaya yang tidak seharusnya mereka keluarkan.
Sistem FUP yang Masih Tidak Transparan
Sebagaimana yang telah kami jelaskan pada berita sebelumnya, diketahui bahwa adanya kemungkinan ke depannya sistem FUP ini akan menjadi hal yang wajib diterapkan oleh semua internet service provider tanah air.
Tentu saja, hal terlucu dalam implementasi FUP ini terletak pada aturan main yang masih saja tidak transparan dan belum merata. Melompat ke delapan tahun silam, tercatat hanya satu ISP provider yang you-know-who menerapkan kebijakan tersebut, di mana ISP lain kala itu, seolah tak terkena wacana batas pemakaian wajar.
Sampai detik ini, banyak yang berasumsi bahwa hal tersebut dikarenakan provider you-know-who merupakan provider yang dikelola pemerintah. Jadi, wajar saja bila hal tersebut menimpa ISP plat merah terlebih dahulu. Bahkan, setelah merger dengan plat merah lainnya sekalipun, ISP satu ini juga tidak ada mengubah aturan main yang mereka ikuti delapan tahun yang lalu.
Bahkan, setelah sekian lamanya, baru-baru ini provider berinisial B juga menerapkan hal serupa. Di mana semua paket internet yang ditawarkannya kini sudah mengusung sistem batas pemakaian wajar atau FUP. Meski bukan perusahaan plat merah, namun tetap saja hal ini membuat para konsumen kecewa dan bertanya-tanya.
Dampak FUP Internet Bagi Konsumen
Nah, berpedoman fakta di atas, tentu saja terdapat dampak yang tidak terduga, khususnya bagi para konsumen. Dengan batas ‘pemakaian wajar’ yang terbilang rendah pada paket berlangganan internet yang kini semakin terjangkau, tentunya hal ini berpotensi timbulkan masalah lainnya.
Pertama adalah kurang bebasnya konsumen dalam gunakan internet. Walau ada saja provider yang menawarkan paket internet murah, namun hal tersebut harus dikompensasi dengan sedikitnya kuota yang didapatkan. Alhasil, hal ini justru menimbulkan masalah baru di mana konsumen merasa berlangganan internet tidak bakalan worth it.
Kedua, semisal konsumen ‘legowo’ dengan kebijakan sistem FUP tersebut, tetap saja hal tersebut masih dibayang-bayangi masalah lainnya. Salah satu di antaranya adalah ‘kebenaran’ terkait kestabilan jaringan internet yang dijanjikan oleh provider.
Nyatanya, penulis yang saat ini gunakan paketnya 100Mbps, merasa bahwa kecepatan internet di rumah tidak terlalu maksimal, dengan kabel LAN sekalipun. Malahan, pada jam tertentu terkadang penulis malah sulit mendapatkan koneksi yang stabil, bahkan tidak jarang mendapat ‘request time out’ meski hampir tidak pernah menyentuh FUP.
Ketiga, dampak lain dari sistem FUP ini seolah menunjukkan bahwa untuk mendapatkan kecepatan internet yang cepat, bagus, dan stabil adalah hal yang sepenuhnya mustahil di tanah air. Terlebih bila kita sudah menyentuh batas pemakaian wajar yang ditetapkan, kecepatan internet akan berkurang drastis dan mengurangi kualitas internet.
Alhasil, mau tidak mau para konsumen yang telah menyentuh batas pemakaian wajar untuk membeli ‘Booster Pack’ dengan harga yang juga tidaklah bersahabat – di angka puluhan, bahkan ratusan ribu Rupiah per harinya hanya demi mengembalikan kecepatan internet ke semula sembari menunggu sistem FUP memulihkan kuota bulanan kita.
Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa sangat jelas sistem FUP internet di Indonesia pada umumnya kurang ideal, mengingat kualitas jaringan yang ditawarkan sama sekali tidak merata dan masih jauh dari kata maksimal.
Pemerataan infrastruktur, dan juga peran pemerintah dan pihak terkait untuk memaksimalkan distribusi internet yang layak ke seluruh pelosok Indonesia, tampaknya masih akan menjadi PR yang mungkin akan cukup melelahkan. Gimana menurut kalian, brott?
Baca juga informasi menarik Gamebrott lainnya terkait Tech atau artikel lainnya dari Bima. For further information and other inquiries, you can contact us via author@gamebrott.com.