30 Juni 2014 bisa dibilang merupakan tanggal yang paling bersejarah bagi Larian Studios. Karena pada tanggal tersebut, mereka baru saja merilis sebuah mahakarya yang banyak dirindukan oleh para pecinta game RPG klasik di seluruh dunia, yaitu Divinity: Original Sin. Kegemilangan game ini rupanya masih berlanjut ke dalam 3 tahun berikutnya. Pada tanggal 14 September 2017 mereka akhirnya kembali menelurkan sebuah sekuel dengan judul Divinity: Original Sin II. Seakan nama “Original Sin” sudah menjadi jimat keberuntungan bagi developer asal Belgia tersebut, game ini rupanya lagi-lagi mendapat banyak pujian setinggi langit baik dari para gamer maupun reviewer.
Kesuksesan yang berhasil diraih oleh Larian nampaknya adalah buah dari hasil keringat mereka yang sudah terbayar selama sekitar 20 tahun. Mungkin kalian sudah pernah mendengar sekelibat cerita atau mungkin gosip tentang developer yang satu ini bahwa pada awalnya mereka memang bukanlah siapa-siapa. Bahkan developer ini dulunya sempat diremehkan oleh beberapa publisher yang sempat merasa menyesal karena sudah terlanjur bekerja sama dengan mereka. Sebenarnya karma buruk seperti apa yang sempat mereka pikul di masa lalu ?
Beginilah kisah sebenarnya dari awal hingga sekarang ini….
Daftar isi
Game Pertama yang diPHP 2 kali ?
Meski baru berdiri sejak tahun 1996, Larian baru resmi memulai usahanya di tahun 1997. Mereka awalnya mengerjakan game berjudul The Lady, The Mage, & The Knight atau bisa disingkat menjadi LMK. Uniknya game RPG ini seakan diibaratkan sebagai versi prototype dari Divinity: Original Sin yang biasa kalian lihat, meski sistem combatnya memang lebih mengingatkan kalian dengan Diablo. Proyek LMK tersebut awalnya mendapat ketertarikan dari perusahaan pembuat konsol seperti Atari. Tapi tak lama berselang, Atari ternyata berubah haluan dengan mengambil kebijakan untuk menghindari game-game yang bermuatan PC.
Pada zaman itu, restu dan naungan dari pihak publisher memang sangat vital bagi para pelaku pembuat video game. Tanpa publisher, ibaratnya kalian tidak mempunyai kaki untuk menunjukan karya yang kalian ciptakan kepada masyarakat luas. Mulai agak trauma dengan penolakan tersebut, Larian akhirnya ingin mencoba suatu hal baru dengan mengembangkan sebuah game RTS berjudul L.E.D Wars. Walau hanya dibuat dalam 5 bulan, rupanya game ini menjadi awal yang baik bagi Larian karena mereka berhasil mendapatkan publisher yang mau memasarkan dan merilis L.E.D Wars, yaitu Ionos.
Menariknya, L.E.D Wars merupakan game RTS yang memiliki kemiripan konsep dengan Red Alert.
Bersamaan dengan suksesnya mereka merilis L.E.D Wars di tahun 1997, proyek lama Larian (LMK) rupanya juga berhasil mereka restorasi kembali dengan menggandeng sang publisher baru, yaitu Attic Entertainment dan berencana untuk merilis game tersebut pada tahun 1999. Namun sayang seribu sayang, Takdir seakan tidak pernah menghendaki game yang satu ini muncul di permukaan.
Proyek pengerjaan LMK akhirnya terpaksa harus batal di tengah jalan atas titah dari sang publisher. Awalnya Attic merasa tertarik dengan konsep RPG yang dijabarkan oleh Larian, namun mereka rupanya telah melihat bahwa rumput tetangga ternyata jauh terlihat lebih hijau. Dimana pada saat itu Attic melirik betapa kerennya grafis 16 bit yang ditawarkan oleh sang kompetitornya, Blizzard dalam game Diablo II. Hal ini ternyata membuat mereka menjadi panik dan mendesak agar Larian segera merombak grafik 8 bit mereka pada game LMK secepatnya. Lalu ditambah dengan janji-janji bahwa LMK nantinya akan dimasukkan ke dalam satu universe yang sama dengan Franchise Realms of Arkania (franchise andalan Attic). Yang membuat LMK kembali gagal sebenarnya bukanlah karena Larian tidak mampu menyanggupinya, akan tetapi karena Attic sendiri ternyata tidak mempunyai dana yang cukup untuk membiayai proyek ambisiusnya tersebut dan akhirnya resmi bangkrut pada tahun 2001.
Merilis game yang belum matang ?
Bangkrutnya Attic Entertainment benar-benar berdampak negatif pada studio Larian. Untuk kedua kalinya apa yang sudah mereka kerjakan dengan susah payah harus berakhir secara sia-sia. Hal tersebut juga diperburuk dengan 30 karyawannya yang masih belum dibayar, termasuk para karyawan yang dititipkan Attic kepada mereka. Swen Vincke selaku founder Larian pun sampai kebingungan dan terpaksa harus menumpang ataupun menawarkan jasa pada proyek-proyek pengerjaan game lain yang skalanya tergolong kecil.
Untungnya, tak lama kemudian setitik harapan masih muncul mendiami studio Larian. Pada akhir tahun 1999, mereka menjalin hubungan kerja sama dengan CDV Software yang telah sukses dalam merilis game RTS bertemakan perang dunia kedua berjudul Sudden Strike. Vincke pada saat itu ingat betul dengan kebiasaan CEO CDV dalam menentukan nama judul game. Seperti halnya Sudden Strike, ia ingin judul gamenya memiliki 2 kata yang berbunyi identik satu sama lain. Sehingga dari CDV, Larian telah melahirkan sebuah game yang berjudul Divine Divinity pada tahun 2002.
Vincke sebenarnya jauh lebih menginginkan judul Divinity: Sword of Lies ketimbang nama Divine Divinity. Karena menurutnya nama Divine Divinity terdengar sangat “nggak banget” dan sampai sekarang ia mengaku tidak pernah menyebut game tersebut sebagai Divine Divinity, melainkan hanya Divinity saja. Game ini sejujurnya bukanlah sebuah game yang mengecewakan, namun lagi-lagi Larian harus kembali menghadapi cobaan akibat kurangnya komunikasi antara pihak CDV dan Larian.
Selain kecewa dengan elemen multiplayer yang harus terpaksa dihapus atas permintaan pihak publisher. Di sana Vincke juga mengakui bahwa game Divine Divinity sebenarnya pada saat itu belum siap untuk dirilis. Ia menyalahkan sang publisher yang tanpa pikir panjang langsung merilis game tersebut tanpa sepengetahuan dirinya. Sehingga berakibat telah dirilisnya game dengan sekitar 7000 bug yang telah dilaporkan oleh para pemainnya. Hampir semua review dalam game Divine Divinity sangat berfokus pada bug-bug tersebut. Di saat setelah mereka telah selesai memperbaiknya, para pemain mulai menyadari bahwa game ini ternyata sangatlah bagus.
Bagusnya game ini rupanya tidak menjadi hal yang bagus juga bagi Larian. Mereka baru menyadari bahwa mereka tidak mendapat timbal balik apa-apa atas kesuksesan Divine Divinity. Meski game tersebut sempat menyabet beberapa penghargaan, rupanya Larian sama sekali tidak berhasil membuat pihak publisher terkesan. karena bagi CDV lewat kesepakatan kontrak dan royalti, tidak berhasil menjual jutaan kopi sama saja berarti gagal. Dalam 5 bulan setelah Divine Divinity rilis, jumlah pegawai studio larian yang awalnya beranggotakan 30 orang langsung menyusut drastis hingga menyisakan 3 orang saja.
Coba banting setir dengan membuat game anak-anak ?
Vincke mengaku bahwa saat itu adalah titik terendah dari pengalaman yang ia alami sebagai pemilik studio Larian. Ia akhirnya memutuskan untuk mengambil istirahat selama 2 minggu di tempat tinggal ayahnya di Afrika Selatan. Ia merenung dan merencanakan sebuah hal yang bisa dibilang cukup nekat. Yaitu mengajukan peminjaman uang di bank, sampai meyakinkan kepada seorang penyiar TV Belgia agar memberikan dirinya sedikit uang.
Hasilnya, Vincke akhirnya kembali mendapat kepercayaan dari para pihak-pihak yang mau memberi dirinya kesempatan dan berhasil membuat sebuah game 3D interaktif yang diperuntukkan khusus untuk anak-anak berusia 4-12 tahun berjudul Ketnetkick. Di dalam game tersebut, anak-anak dapat berkreasi dalam membuat beragam karya animasi atau gambar dalam dunia Ketnetkick dan mengirimkannya secara langsung kepada pihak stasiun televisi Belgia. Nantinya seorang penyiar dalam sebuah acara TV akan menampilkan hasil kreasi yang sudah dibuat oleh para anak dalam game Ketnetkick. Hal ini bisa dibilang sebagai bagian dari kampanye sosial yang bertujuan untuk menumbuhkan potensi anak dalam berkarya dan mengaktualisasikan diri mereka.
Bersamaan dengan perilisan Ketnetkick di tahun 2004, mereka juga berhasil mendapat tambahan dana yang cukup untuk mengembangkan kelanjutan dari game Divine Divinity yang mereka namai Beyond Divinity. Berkat kucuran dana itu pula studio Larian bisa kembali bangkit di permukaan dengan bertambahnya personel menjadi 25 orang.
Namun semua karya yang mereka kerjakan selama waktu tersebut hanya bersifat freelance semata. Artinya mereka hanya dibayar untuk mengerjakan proyek game yang nantinya tidak akan bisa mereka miliki. Tak terkecuali dengan game Beyond Divinity di atas, sampai ke sekuel langsung dari Divine Divinity, yaitu Divinity II: Ego Draconis yang berhasil mereka luncurkan di tahun 2009. Game ini terlihat menjanjikan karena menggunakan graphic engine yang sempat dipakai oleh The Elder Scrolls IV: Oblivion, yaitu Gamebyro. Bahkan CDV kembali mensupport game ini sebagai publisher bersama dengan DTP Entertainment.
Kesalahan yang sama terulang kembali
Larian kembali bergumul dengan masalah yang selalu mereka hadapi ketika ingin membuat game RPG yang betul-betul mereka idamkan. Meski sempat mendapat penghargaan lewat game edukasi anak-anak yang mereka buat dalam Ketnetkick, suara hati memang tidak bisa dibohongi. Game RPG jelas adalah insipirasi dan cerminan hati Larian dalam membuat video game. Namun keadaan dan takdir pada saat itu terlihat selalu menghancurkan harapan mereka.
Divinity II: Ego Draconis lagi-lagi dirilis secara terburu-buru oleh pihak publisher. Alhasil mereka kembali meluncurkan sebuah game yang sebenarnya tidak pernah mereka harapkan. Larian memang memahami betul bahwa tahun 2009 memang adalah tahun yang cukup sulit bagi para publisher, karena pada saat itu sedang terjadi krisis finansial yang memaksa para publisher untuk harus segera bergerak dan mempertaruhkan nasibnya di bawah kendali pasar global.
Ironisnya Divinity II adalah game pertama yang Larian mulai rilis di platform konsol, lebih tepatnya khusus untuk konsol Xbox 360. Namun, game tersebut hanya terkesan seakan numpang lewat saja di tahun 2010. Tidak ada hal spesial yang bisa kalian petik dari Divinity II kecuali tentang karakter kalian yang bisa berubah menjadi naga ataupun port konsol yang ultra kacau dibandingkan dengan versi PCnya. Meski mereka sudah berupaya keras memperbaiki lewat update patch dan expansion dengan judul Dragon Knight Saga, hal tersebut terkesan mubazir bila melihat para developer-developer lain sudah bisa membuat game yang betul-betul sempurna sejak pertama kali rilis. Sehingga dalam dunia persaingan bisnis yang begitu ketat dan penuh tekanan, nampaknya bekerja keras saja tidaklah cukup jika tidak dibarengi dengan bekerja secara cerdas.
Dari situ pula, Vincke juga mengungkapkan keluh kesahnya selama berurusan dengan para publisher, karena kebanyakan dari mereka memiliki keengganan untuk bekerja sama dengan Larian. “Mereka bilang bahwa kami tidak punya masa depan” keluh Vincke. Oleh karena itu, ia merasa tidak terima dan ingin mulai bertekad untuk mematahkan anggapan judgemental mereka dengan menjadi developer yang lebih independen. Atau bisa dibilang membuat gamenya sendiri, lalu merilis dan memasarkannya pun juga secara mandiri.
Pilih Dragon Commander atau Original Sin ?
Beberapa saat setelahnya, Vincke berhasil menggoda dua investor yang tertarik dengan dua game yang beliau usulkan kepada mereka. Yang pertama adalah Divinity: Dragon Commander dan yang kedua adalah Divinity: Original Sin. Berdasarkan keuntungan yang didapat dari Dragon Knight Saga, hasil kerja sambilan mereka pada developer-developer lain, dan tak ketinggalan dengan tambahan dana dari kedua investor di atas. Larian akhirnya mampu mendapat dana yang cukup untuk mengembangkan kedua game fresh mereka tersebut. Bagi Vincke, sangat penting bagi Larian untuk mulai mengontrol nasib mereka sendiri ketimbang menjadi “kacung” ataupun menggantungkan nasibnya kepada publisher lain.
Baik Dragon Commander ataupun Original Sin, kedua game tersebut sama-sama Larian kembangkan secara bersamaan. Namun Larian rupanya ingin berfokus terlebih dahulu dengan Dragon Commander. Bagi yang belum tahu, Dragon Commander adalah game RTS unik dimana kalian bisa mengendalikan seeokor naga berjetpack untuk menghancurkan markas musuh, dan musuh yang selalu menyerang kerajaanmu
Walaupun Dragon Commander telah dirilis terlebih dahulu, Vincke menyesalkan bahwa game ini bisa saja menjadi lebih baik andai dirilis sesudah Original Sin. Namun ia tetap menganggap bahwa Original Sin adalah game terakhir yang telah dipertaruhkannya secara habis-habisan. Bila game tersebut gagal, Vincke mengaku tidak tahu harus berupaya bagaimana lagi ? Karena semua aspek dan formula yang ia mimpi-mimpikan sejak membuat LMK dulu telah diblender secara langsung ke dalam game Divinity: Original Sin.
Pilihan kedua yang mengubah hidupnya
Dalam menyelesaikan pengerjaan Divinity: Original Sin, Vincke menceritakan pengalamannya bahwa ia sempat menghalalkan segala cara agar game tersebut benar-benar bisa dirilis. Dimulai dari menggalang dana di Kickstarter sampai menghindari kewajiban untuk membayar pajak. Tanggal rilis yang sudah ia janjikan kepada para penggemar pun membuatnya semakin gila. Pihak bank saja sudah tidak bersedia lagi untuk memperpanjang masa peminjaman uang yang diajukan Vincke dan mengancam untuk segera menindak apabila ia tidak segera melunasi hutang-hutangnya sebelum jatuh tempo. Ia pun akhirnya kembali mengemis, meminta kepada orang-orang yang mau dengan sukarela menyisihkan sebagian uang untuknya. Vincke lalu mengungkapkan bahwa secara ajaib, masih ada orang-orang yang beringan tangan mau membantu dirinya dalam mewujudkan cita-cita yang selama ini selalu terpendam dalam belasan tahun terakhir.
Berbagai macam resiko yang nantinya harus Vincke tanggung beserta upayanya dalam menjaga baik-baik pengerjaan Original Sin rupanya benar-benar berhasil terbayarkan. Dalam beberapa bulan Original Sin dirilis, game ini sudah menjual lebih dari sekitar 500.000 kopi. Meski game ini tidaklah sempurna, namun Original Sin adalah sebuah franchise yang seakan menjadi penyelamat nyawa bagi Larian Studios karena hampir semua para gamer tahu mengenai bagaimana potensi sebenarnya yang dimiliki oleh game ini. Vincke sendiri sebelumnya tidak pernah merasakan pencapaian positif seperti ini di sepanjang hidupnya. “Dragon Knight Saga, Dragon Commander, sampai ke Original Sin adalah karya yang masing-masing memiliki perbedaan kontras yang tak terbayangkan” ungkapnya.
Semenjak Divinity: Original Sin meluncur di pasaran, sudah bukan rahasia lagi bila Studio Larian mulai bertransformasi menjadi studio game yang lebih profesional. Dirilisnya versi Enhanced Edition dari Original Sin yang menyertakan dukungan controller untuk platform konsol, tak ketinggalan dengan beragam konten tambahannya membuat developer asal Belgia tersebut menjadi semakin digemari oleh para gamer di seluruh dunia, bahkan jangan kaget apabila mereka sampai bisa disejajarkan dengan CD Projekt Red.
Larian pun akhirnya juga merasa tertantang untuk membuat sekuel langsung dari game tersebut. Hasilnya, game berjudul Divinity: Original Sin II yang sudah mereka rilis pada tahun lalu justru malah menjadi game yang lebih spektakuler dibandingkan dengan prekuelnya. Bila tidak percaya, kalian bisa cek melalui review yang sudah kami jabarkan dalam beberapa waktu lalu. Hal tersebut memang lagi-lagi berkat tekad kuat Vincke dalam menentukan jalan hidup yang ia dan para timnya pilih dengan menjadi developer game yang sama sekali tak bergantung pada kekuatan marketing publisher.
Kisah jatuh bangun yang dialami oleh Larian Studios ini bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak pernah menyerah dalam mengejar impian dan harapanmu. Mungkin di pertengahan jalan kita seringkali mengalami sebuah kegagalan, namun ketahuilah bahwa roda kehidupan akan terus selalu berputar, kadang di bawah, dan kadang di atas. putaran di tiap roda tersebut bisa kalian jadikan sebagai momentummu untuk terus melangkah dan mencoba. Jadi, jangan pernah sia-siakan kesempatan kalian selama masih bisa hidup dan berkontribusi untuk masyarakat.
Sumber: PC Gamer Issue 316