Menganggapnya sebagai hal yang sangat buruk ?
Hasil perdebatan mengenai isu fenomena lootboxes dan microtransaction hingga saat ini memang masih belum menemui titik terang yang pasti. Telah banyak pihak yang tetap kukuh berpendapat bila keberadaan loot boxes itu terkesan jauh dari praktik perjudian beserta dengan argumen yang menyatakan sebaliknya. Di kawasan Eropa sendiri pun, sudah lama muncul berbagai resistensi untuk menolak kehadiran Loot Boxes melalui bentuk pernyataan yang kerap disampaikan oleh sejumlah pihak-pihak instansi terkait.
Terutama apabila yang berhubungan tentang anak, pihak komisaris bagian perlindungan anak di Inggris telah mulai ingin memberikan himbauan yang tegas dalam menghadapi isu satu ini. Melalui hasil laporan yang telah dirincikan, Anne Longefield selaku komisaris meminta untuk diadakannya sebuah regulasi ketat yang mengatur tentang keberadaan game online. Baik itu dari pengklasifikasian sistem loot boxes sebagai satu bentuk praktik perjudian, hingga dimunculkannya sebuah pembatasan untuk anak terhadap game-game yang memiliki fitur Microtransaction.
Dalam isi laporannya, Anne sudah mewawancarai sejumlah anak di usia 10-16 tahun demi menanyakan hal-hal yang biasa disuka, dibenci dan apa yang bisa diperbaiki tentang hobi mereka dalam bermain game. Beliau pun akhirnya menggarisbawahi adanya latar belakang isu bullying, beserta dengan tekanan yang selalu anak-anak terima untuk mengakses layanan microtranasaction dalam game, contoh utamanya seperti membeli skin Fortnite.
Di sana diceritakan bahwa para anak-anak sering kali merasa minder dan ‘dibully’ ketika mereka tidak mampu untuk membeli skin dari game tersebut. Menariknya, bentuk tekanan itu tidak hanya muncul dari budaya yang biasa dijunjung oleh para teman-teman sebayanya. Ironisnya, para influencer (youtuber maupun streamer) disebut-sebut juga ikut menjadi faktor pemicu.
Jumlah uang yang biasa dikeluarkan sang anak demi membeli “barang” game pun boleh dibilang sangat bervarian dengan tingkat intensitas yang selalu digambarkan meningkat di setiap tahunnya. Selain Fortnite, Anne juga ikut mengambil contoh game FIFA yang sangat memberikan pengaruh sugesti kepada anak untuk selalu mengeluarkan uang dalam memperbarui skuad mereka.
Melalui pertimbangan berikut, beliau akhirnya mempunyai suatu kesimpulan bahwa aktivitas anak di dalam game online juga harus ikut dimonitor secara lebih serius seperti layaknya kegiatan mereka di dunia nyata. Regulasi mengenai aturan perjudian pun juga nampak harus dievaluasi kembali. Karena pada kenyataannya, anak-anak pun dapat ikut menghambur-hamburkan uang asli untuk membeli “sesuatu” di dalam game. Anne sendiri mengusulkan agar pihak developer mau memberikan limitasi kepada mereka dalam mengakses layanan microtransaction.
Tidak hanya mengenai pembatasan saja, beliau juga ingin mendorong peran aktif orang tua untuk ikut membantu anak dalam mengatur waktu-waktu mereka. Tujuannya tentu agar anak tidak merasa tertekan untuk selalu bermain game. Selain itu, pihak developer pun kabarnya juga harus secara transparan menampilkan data waktu bermain rata-rata yang biasa dilakukan oleh sang anak. Begitu pula dengan pemberlakuan rating usia yang seharusnya betul-betul diberi payung hukum yang tegas kepada siapapun yang melanggar.
Terlepas dari kepentingannya yang nampak murni ditujukan demi anak, apakah kira-kira usulan yang dikemukakan oleh Anne Longefield di atas merupakan suatu bentuk langkah terbaik dalam menutup kontroversi isu Loot Boxes ? Yang jelas, pandangan yang diungkapkannya itu bisa jadi akan sedikit terbentur dengan sebagian prinsip yang biasa para developer/publisher game anut dalam menjalankan bisnisnya.
Hingga kini pun, pihak publisher masih hanya lebih mau terbuka untuk menunjukan rate kelangkaan loot boxes yang mereka miliki ketimbang merevisi langsung sistem tersebut.
Sumber: Children Commissioner
Baca pula informasi lain terkait Loot Boxes, beserta dengan kabar-kabar menarik seputar dunia video game dari saya, Ido Limando.