Mencoba Call of Duty: Vanguard – Dendam Pribadi di Balik Kegagahan ‘Swastika’

Codv Cover

Setelah bergelut dengan WWII yang kisahkan sejarah perang dunia kedua, Call of Duty: Vanguard kembali membuat Sledgehammer Games mengeksplorasi perang dunia dengan kisah baru yang berhubungan erat dengan pasukan Nazi Jerman di masa perang.

Kali ini kamu takkan berperan sebagai satu karakter saja, namun juga karakter lain yang diperkenalkan Activision saat promosinya. Termasuk tentara perempuan asal Russia yang ahli menggunakan senapan runduk atau sniper.

Sayangnya, campaign gamenya terasa half-baked saat saya selesai menamatkannya. Saya hanya terkesima dengan satu karakter saja yang benar-benar unik pendekatannya. Seperti apa gamenya? Berikut gambaran umum pendapat saya pribadi setelah memainkan dan menamatkan Call of Duty: Vanguard.

Call of Duty: Vanguard miliki misi campaign yang cukup singkat antara 4-6 jam, itupun tergantung karaktermu sering mati atau tidak. Kamu akan memainkan sekitar lima karakter yang ada di ceritanya dengan karakter tambahan yang pada nantinya takkan kamu mainkan lagi.

Beberapa karakter tersebut adalah pimpinan tim yakni Arthur Kingsley, sniper Polina Petrova, demolitioner Lucas Riggs, dan pilot Wade Jackson. Keempat karakter ini miliki satu misi yakni membawa Project Phoenix kembali ke sekutu dan menangkap salah satu pimpinan tentara Nazi Jerman, Hermann Wenzel Freisinger.

Singkatnya sih misi utamanya miliki durasi yang cukup singkat, karena di sepanjang permainan kamu hanya akan memainkan misi masa lalu tiap karakternya masing-masing. Sementara misi utama hanya beberapa bagian saja.

Meskipun demikian, ini adalah jalan cerita yang baik bagi perkenalan keempat karakter yang walaupun di sisi lain cukup mengecewakan karena durasinya yang pendek.

Tiap karakter miliki kemampuan uniknya masing-masing, misalnya saja Arthur yang bisa memerintahkan unitnya untuk melakukan suppress fire/cove fire, sementara Jackson bisa lakukan aimbot.

Dari keempat karakter, saya hanya terkesima dengan pembawaan cerita Polina Petrova yang tak hanya hadirkan drama tentara, namun juga hadirkan bagaimana kejamnya tentara Nazi saat perang dunia. Menurut saya perjalanan hidupnya dari tentara medis pasukan Russia yang dilatih ayahnya menjadi seorang sniper penuh haru dan drama yang membangun karakternya hingga akhirnya menaruh dendam pada Freisinger.

Polina Petrova adalah satu-satunya karakter yang ceritanya ditulis dengan sangat baik menurut saya pribadi.

Ketiga karakter lain seperti Arthur, Wade, dan Lucas juga miliki dendam tertentu terhadap Freisinger yang diceritakan di setiap misinya. Sayang, ketiganya tak se-memorable Polina bagi saya pribadi karena cukup biasa.

Memang, ketiga karakter selain Polina tidak dibuat sebaik Polina dari sisi penulisan. Kisah mereka terasa biasa saja dibanding Polina yang extraordinary berjuang seorang diri hingga kehilangan segalanya. Bagi saya ini adalah nilai minus yang seharusnya tidak dilakukan dan membuat ceritanya seolah tergesa-gesa untuk perkenalkan keempatnya.

Salah satu yang hampir membuat saya betah adalah misi Wade saat menjadi pilot untuk menghancurkan tentara Jepang. Ia tak hanya akan mengebom kapal perang Jepang dari udara saja, namun juga misi di darat bersama tim pasukan darat.

Wade adalah pilot pesawat tempur yang miliki misi utama di udara, namun pada akhirnya ia akan kerjakan misi di darat.

Di sepanjang campaign, kamu akan bisa melihat banyak sekali cutscene dengan transisi antara cutscene-in-game yang sangat apik dan terasa seamless tanpa transisi tertentu. Membuatnya lebih imersif dan interaktif.

Buat kamu yang pengen topup Google Play, Steam Wallet, PlayStation Network, ataupun Nintendo eShop yang paling murah dan terjamin, coba cek RRQ TopUp ya! Jangan lupa juga, gunakan kode voucher “GAMEBROTT” di RRQ TopUp untuk dapet potongan harga spesial buat kamu.

Ngga bisa dipungkiri bahwa Sledgehammer Games memang jagonya membuat cutscene dan sinematik yang membuat Call of Duty: Vanguard terasa seperti memainkan film interaktif dibanding video game.

Iya, beneran gelap karena kondisinya di tengah hutan saat malam hari. Nuansa mencekam ini sering dihadirkan dalam gamenya untuk memberikan kesan bagaimana kengerian perang dunia kala itu.

Warna mono yang mereka tawarkan juga semakin membuat nuansa perang dunia semakin mencekam. Kamu bakal ngerasain sulitnya menembak musuh karena hujan, kabut, atau kondisi malam yang gelap.

Beberapa akting karakternya juga cukup membuat saya terkesima. Terlebih para antagonisnya yang miliki akting yang luar biasa keren. Kamu bisa merasakan dan melihat raut wajah takut, curiga, dan jahat dari setiap antagonisnya yang digambarkan dengan sangat baik. Saya pribadi ngga jago buat menilai bagaimana aktingnya, namun saya tak menemukan hal yang janggal, canggung, dan aneh di sepanjang akting karakternya hingga tamat.

Hermann Wenzel Freisinger, antagonis utama gamenya.

Saya tak menemukan begitu banyak masalah di campaignnya selain bug AI yang cukup bodoh tidak mau menembak, dan bossfight yang menurut saya ngga perlu dan terlalu “fantasy” untuk setting realistis.

Gunfightnya jempolan banget karena pada akhirnya Sledgehammer Games berhasil meraih standar gunfight seri Call of Duty dengan caranya sendiri. Mereka masih kedepankan realisme dan takkan membuat animasi reload secepat kilat seperti seri yang dibuat developer Call of Duty lainnya. Kamu akan melakukan reload dengan lambat dan harus bersabar agar tak asal rush jika tak mau mati konyol karena sedang reload.

Pergantian senjata juga tak bisa secepat kilat, terdapat jeda animasi yang cukup lama hingga akhirnya kamu bisa memegang senjata kedua. Dari sini saya paham bahwa game ini tak bisa diperlakukan sama seperti seri sebelumnya.

Sementara versi multiplayernya cukup menyenangkan dan sesuai standar Call of Duty biasanya. Kamu bisa menemukan rasa gunfightnya yang sangat terasa, bagaimana sound designnnya yang baik, dan tentu saja animasi lari, first-person, dan yang lain yang terasa lebih realistis.

Satu hal yang tak bisa kamu jumpai di multiplayer Call of Duty: Vanguard adalah hilangnya titik merah di mini map saat musuh tak menggunakan suppressor. Hal ini memang disengaja agar player bisa fokus dengan apa yang ada di depan mereka. Kamu bisa mengembalikan fitur tersebut dengan menggunakan killstreak UAV/Intel selama beberapa waktu saja.

Bagi saya pribadi, jika kamu memainkan game ini hanya untuk campaignnya saja, maka menurut saya kamu bisa melewatinya dan mungkin fokus untuk menabung dan membeli sekuel Modern Warfare yang sempat dirumorkan akan dirilis tahun depan oleh Infinity Ward. Ini karena jelas cerita Modern Warfare Reboot lebih baik dari Vanguard.

Namun jika kamu hanya mencari multiplayer, maka Vanguard adalah pilihan yang tepat. Tentu saja bukan untuk kamu yang suka bar-bar karena ia terhitung sedikit lebih lambat dari seri Call of Duty biasanya. Jika saya harus menilai game ini dengan angka, maka 7 adalah nilai tak berlebihan.

Segitu aja kira-kira gimana Call of Duty: Vanguard menurut saya. Semoga gambaran kecil yang tak begitu detil ini bisa memberikanmu pandangan bagaimana game baru dari developer ketiga seri utama franchisenya.

Ohya ini beberapa screenshot tambahan yang saya ambil dari versi PC gamenya.

Exit mobile version