Kesulitan sebuah game itu mungkin tergolong subjektif untuk tiap gamer, tetapi satu hal yang kita semua bisa setujui, game retro lebih sulit untuk diselesaikan ketimbang game modern saat ini. Game retro tak hanya membutuhkan skill dalam mengontrol karakter, tetapi kamu juga dipaksa menghapal tiap layout level mulai dari letak musuh hingga cara termudah melawan mereka tanpa mengurangi HP.
Lalu kenapa game zaman dulu dibuat sesulit mungkin, apakah desainer game zaman dulu penuh dengan masokis? Sebelum kita beralih ke pertanyaan tersebut, mari kita ingat intermezzo sedikit ke hal lain yaitu:
Daftar isi
Apa yang membuat game zaman dulu sulit?
Mari kita bernostalgia sedikit akan apa saja yang membuat kita kesal dari game lama khususnya di era NES (Nintendo Entertainment System).
Minimnya checkpoint, belum ada autosave, mati ulang dari awal
Berbeda dengan game sekarang yang memberikanmu banyak kesempatan untuk tetap bertahan hidup, game retro tidak pernah peduli akan hal tersebut dan menghukum tiap kesalahanmu.
Game seperti Contra, Super Mario Bros, Ghost and Goblins tak miliki sistem checkpoint. Apabila kamu mati, mau seberapa jauh progresmu, kamu harus ulang dari titik awal level. Ketika nyawamu habis, kamu harus ulang game dari nol.
Kamu juga bukanlah Wolverine yang bisa sembuh dari segala luka dengan bertahan dari serangan selama 5 detik. Game era 90-an mayoritas miliki sistem fixed health dalam arti kamu hanya miliki satu set HP dari awal hingga tamat. Apabila game hanya memberikanmu 3 HP, maka sepanjang game kamu harus bertahan dengan 3 HP tersebut. Yang paling ekstrim ialah game seperti Contra dimana kamu hanya miliki 1 HP dan apabila satu peluru mengenaimu maka kamu otomatis kehilangan satu nyawa.
Dengan absennya checkpoint dan fitur save di era ini, kamu harus selesaikan game dalam satu kali duduk dan apabila kamu beruntung, game akan tawarkan sistem password tetapi harus kamu ingat atau progresmu musnah begitu saja.
Desain sulit yang disengaja agar kamu mati
Tak jarang developer menaruh mekanik tertentu yang membuat game jauh lebih susah dari seharusnya. Megaman miliki duri yang bisa membunuhmu dalam satu hit, knockback yang membuatmu jatuh ke lubang layaknya di Castlevania atau Ninja Gaiden, atau bahkan kontrol dan animasi buruk yang membuatmu kesulitan untuk lakukan aksi tertentu.
“Desain setan” seperti ini menjadi trend untuk game keluaran 80 dan 90-an. Kamu mau tak mau harus hadapi tantangan tersebut apabila ingin selesaikan game karena tidak semua game miliki cheat code seperti Contra.
Nyasar
Mulai dari era 8-bit hingga di awal 3D diperkenalkan, game retro tak jarang membuatmu bertanya “Harus kemana sekarang?” Berbeda dengan sekarang yang dimana misimu selalu ditandai di map dan bahkan diarahkan kemana lewat panah atau indikator penunjuk lainnya, game retro seakan mengangkat jari tengah kearahmu dan menyuruhmu untuk tebak sendiri tiap layout peta yang mereka desain.
Internet masih menjadi hal yang baru di era ini, maka apabila kamu nyasar dan tidak tahu harus kemana, kamu antara harus membeli majalah guide di toko terdekat, bertanya dengan teman yang sudah bermain, atau tebak sendiri hingga ketemu.
Mengapa game zaman dulu dibuat sesulit mungkin?
Dengan kini kita ingat kembali akan apa saja yang membuat game zaman dulu lebih sulit, mari kita kembali ke topik utama. Berikut beberapa alasan yang mungkin menjadi faktor mengapa game dulu lebih sulit dari sekarang.
Memperlama durasi gameplay
Ketika game yang dibeli ternyata miliki durasi sebentar, maka mayoritas dari kita merasa rugi khususnya apabila game tersebut buruk. Omongan mulut ke mulut akan sebuah game menjadi hal yang krusial di era ini karena hal semacam Metacritic atau kritikus game pada umumnya masih belum ditanggapi serius oleh gamer. Ketika tersebar luas apabila game yang dirilis tersebut berdurasi pendek, maka gamer akan malas untuk membayar $60 untuk game tersebut. Untuk memperlama durasi gameplay secara artifisial, desainer game dulu dengan sengaja membuat game sesulit untuk dimainkan oleh pendatang baru. Mau itu sulit dari aspek gameplay atau level yang membingungkan, trik desain seperti ini sempat menjadi trend di 90-an.
Dengan trik seperti ini, game yang seharusnya dapat diselesaikan dalam sekali duduk dapat berlangsung lama karena mayoritas waktu bermain dihabiskan oleh mati dan main ulang game dari nol hingga jago.
Limitasi storage
Berbeda dengan sekarang dimana satu game bisa memakan storage hingga puluhan GB. Game retro khususnya yang ditampung dalam cartridge hanya berukuran 200 KB – 64 MB. Di era PS1 yang telah menggunakan CD pun masih dibatasi sekitar 900 MB, membuat game super besar seperti Final Fantasy VII bisa memakan beberapa disc untuk tampung keseluruhan game. Keterbatasan storage ini membuat developer harus lebih pintar dalam mendesain game mereka agar dapat terlihat sebagus mungkin, miliki durasi selama mungkin, dan entah bagaimana bisa ditampung dalam satu cartridge atau disc.
Pada akhirnya limitasi storage ini kembali pada alasan pertama. Desainer game ingin game mereka selama mungkin maka pembeli merasa puas akan pembelian mereka. Tak ada cara yang lebih mudah untuk mengatasi masalah tersebut selain dengan membuat game sulit untuk diselesaikan.
Pancingan untuk beli peripheral tambahan
Limitasi hardware terkadang dimanfaatkan banyak developer dan bahkan manufacturer console untuk menjual peripheral tambahan untuk permudah game. Contoh termudahnya ialah memory card di PS1. Apabila kamu tidak miliki benda tersebut, kamu dipaksa untuk bermain game dalam sekali duduk. Dengan desain game yang mendorongmu untuk terus mati ataupun nyasar, istilah “sekali duduk” terkadang mustahil khususnya apabila waktu bermainmu dibatasi orang tua. Solusi yang ditawarkan tentu saja dengan cara menyimpan progresmu dengan satu benda khusus yang dijual terpisah dari console.
Nintendo juga manfaatkan desain sulit di era ini dengan berbagai cara seperti peluncuran beberapa peripheral mulai dari Power pad, turbo controller, zapper, dan lain-lain. Selain itu, mereka juga manfaatkan kondisi ini dengan membuat subskripsi majalan guide yang dapat berikan gamer tips dan trik dalam selesaikan game tertentu serta line telepon khusus dimana gamer bisa bertanya disana bagaimana cara melewati tantangan tertentu dari sebuah game.
Desain game arcade masih menjadi standar
Sebelum home console populer, satu-satunya cara agar gamer antusias dapat bermain game favorit mereka ialah lewat arcade atau mesin “dingdong” sebagaimana masyarakat Indonesia memanggilnya. Arcade didesain untuk meraup koin pemainnya sebanyak mungkin, maka game dibuat sulit agar pemainnya dapat terus keluarkan uang mereka agar dapat selesaikan game tersebut. Kesannya sama seperti game free-to-play di smartphone sekarang tetapi bedanya diganti koin tersebut dengan iklan atau microtransaction setiap kali kamu mati di sebuah level.
Arcade menjadi bisnis yang sangat populer sebelum Atari, Nintendo dan Sega luncurkan home console mereka kepada dunia. Dengan pengalaman berkerja dalam desain game arcade, banyak developer tuangkan desain mereka ke generasi gaming yang baru. Beberapa desainer yang baru memasuki dunia pengembangan game juga mengambil game arcade sebagai inspirasi mereka. Dengan desain game arcade masih menjadi standar serta limitasi hardware yang disebutkan sebelumnya, desain game sulit hampir tak sulit untuk diabaikan untuk banyak developer.
Resiko rugi tak sebesar sekarang
Istilah game kelas AAA mungkin sudah tak asing bagimu. Game kelas AAA adalah game yang dibuat dengan budget super besar dan jumlah developer yang mencapai puluhan hingga ratusan. Game dengan kelas sebesar ini mulai populer di era PS3/X360 hingga saat ini. Tetapi pada era sebelum itu, game dengan skala AAA masih menjadi sesuatu yang langka terjadi.
Sebelum era modern gaming, game diproduksi oleh tim yang terkadang tak sampai 20 orang. Dana yang dibutuhkan juga tergolong rendah apabila dibandingkan dengan dana game AAA saat ini. Karena dua hal ini, developer tidak didorong untuk ikuti apa yang sedang trending di pasar game dan lebih punya kebebasan akan proyek mereka karena resiko yang diakibatkan tidaklah berakibat publisher bangkrut khususnya publisher besar seperti Konami dan Capcom.
Dengan resiko yang bisa dikatakan “kecil” ini, developer game dulu juga tidak didorong untuk mencakup semua audiens layaknya game sekarang hingga mereka harus membuat game accessible untuk segala macam gamer. Apabila mereka ingin membuat game yang sifatnya casual, maka itu yang mereka buat, apabila mereka ingin bangun sesuatu yang begitu kompleks dan ditujukan untuk gamer yang lebih hardcore, mereka tak ada halangan apapun.
Developer game khususnya yang ada di Jepang terkadang tak ingin game yang mereka buat susah payah diselesaikan dengan begitu mudah. Maka tantangan dan gimmick tertentu disuntikkan kepada game agar ada sedikit tantangan terhadap game yang mereka ciptakan. Resiko gamer tidak mau beli game tersebut karena terlalu sulit atau membingungkan masih dapat terjadi, tetapi selalu ada kesempatan untuk “balik modal” melihat dana yang dihabiskan untuk game tersebut tidak begitu masif.