[OPINI] Mengapa Youtube Hilangkan Jumlah Dislike?

Opini Youtube Dislike

Eksistensi Youtube sebagai salah satu platform berbagi video sepertinya memang tak dapat dielakkan, karena terbukti Youtube masih digemari masyarakat Indonesia. Mulai dari tutorial membuat handcraft, memulai hidroponik, merakit sebuah personal computer, sampai tutorial membersihkan pekarangan pun tersedia di platform ini.

Sebelumnya, Youtube sempat umumkan akan sembunyikan jumlah dislike yang akan dilakukan secara bertahap untuk menjaga komunitas tetap terkontrol dan kondusif. Namun, bukannya justru mendapat sambutan baik, Youtube malah tuai protes dari mayoritas penikmat platform Youtube ini.

Pada kesempatan kali ini, saya akan memberikan sudut pandang pribadi terkait hal kecil yang kini berkembang menjadi sebuah permasalahan ini. Selain menarik untuk dibahas, sepertinya memang tak sedikit yang memang kurang menyukai keputusan sepihak oleh Youtube yang terkesan overprotektif ini.

Nah, daripada semakin penasaran, yuk check it brott!

Sekilas Mengenai Aturan Main Terbaru Youtube

Kebijakan untuk sembunyikan jumlah dislike ini mulai diberlakukan kemarin, tepatnya 10 November 2021 pada blog official Youtube. Dalam postingan blog-nya, Youtube menekankan bahwa mereka ingin membuat platform mereka dapat mewadahi para content creator pemula sekalipun.

Di Youtube, mereka menjamin bahwa para content creator diterima oleh komunitasnya dengan baik, dan dapat menyajikan konten ala mereka sendiri. Sebagai langkah cepat untuk memulai kebijakan terbarunya ini, Youtube akan memulainya dengan mendukung interaksi antar creator dan viewer berjalan baik.

Di tahun inilah Youtube semakin mematangkan perlindungan untuk content creator agar dapat berekspresi sesuai cara mereka tanpa takut terkena cyberbully. Selain itu, hal ini sangat mungkin terpicu oleh aktivitas dislike mobs yang mungkin sedang marak saat ini di platform Youtube.

Umumnya, dislike mobs ini menyerang para pelaku kreatifpemula yang mungkin menampilkan konten yang lebih bagus dan relevan pada viewers. Tidak menutup kemungkinan bahwa viewers dari kanal besar menganggap bahwa potensi dari pelaku kreatif pemula tersebut dapat melengserkan ketenaran dari creator idamannya.

Oke, setelah mengetahui informasinya di atas, yuk kepoin sisanya di bawah!

Pertama, Membuat Platform Terkesan Tidak Transparan

Berbeda dari zaman now, butuh waktu tak sebentar untuk dapat mendorong para content creator untuk telurkan kreativitas mereka secara online. Selain permasalahan akses internet yang kurang mumpuni dan kurang menjangkau, para pelaku di industri kreatif mengedepankan kualitas kontennya.

Dari dulu sampai sekarang, banyaknya jumlah ‘jempol’ alias like dijadikan sebuah tolak ukur kesuksesan para content creator dalam berikan konten. Faktor tersebut membuat para content creator berpikir ribuan kali bila hasil karya mereka tak mampu tawarkan kualitas berisi.

Selain wajib miliki internet dengan kecepatan mumpuni, effort lebih juga merupakan patokan harga mati yang wajib dimiliki para pelaku kreatif. Seakan bertolak belakang dari tempoe doeloe, generasi zaman now dapat menikmati, bahkan mengunggah hasil kreasi mereka dengan mudahnya.

Perbedaan pada kualitas infrastruktur tersebut berimbas secara tak langsung pada mereka-mereka yang sekedar melakukannya untuk iseng, atau untuk mencari sensasi. Membuat video dengan dalih ‘sekedar iseng’ tersebut sebenarnya bersifat hit-or-miss, karena hasil seorang pemula umumnya tak bakal dilirik, atau viral.

Youtube, tentu memiliki peran yang berbeda dalam industri kreatif ini. Selain menjaga komunitas tetap terkontrol dan kondusif, Youtube bertugas mewadahi para pelaku kreatif, tidak lebih dan tidak kurang. Salah satu ‘cara’-nya adalah dengan ‘mematikan’ tombol dislike, yang dapat diartikan sebagai rasa ketidaksukaan kita terhadap suatu konten.

Hal yang mendasari perusahaan sebesar Google dengan produknya Youtube melakukan tindakan ini adalah demi melindungi content creator alias pelaku kreatif. Sayangnya, bukan dukungan yang didapat, melainkan hujatan yang mereka telan berkat langkah yang menurut saya pribadi sama sekali tidak transparan.

Ketidaktransparanan yang saya maksud di sini adalah hilangnya jumlah dislike pada konten yang berada pada platform Youtube tersebut. Meski Youtube memang berdalih demi lindungi content creator pemula, namun hal ini merupakan langkah yang tak pantas untuk mereka lakukan.

Kedua, Youtube Seolah Manjakan Pelaku Kreatif

Berkat hilangnya tombol dislike tersebut, kemungkinan akan mendorong para pelaku kreatif untuk memberikan konten yang mungkin sama sekali tidak bermutu. Ini merupakan salah satu alasan mengapa saya sama sekali tidak suka dengan keputusan yang diambil oleh perusahaan sekelas Youtube.

Rasanya tak salah bila saya tekankan secara gamblang bahwa Youtube terlalu manjakan pelaku kreatif. Mengingat saya sendiri merupakan seorang content creator, tentu saya sangat paham betapa sulitnya untuk dapat menelurkan konten berkualitas.

Brott semua tentu dapat melihat, menilai, dan menyimpulkan bagaimana konten-konten yang disajikan oleh generasi zaman now di Youtube. Menurut saya pribadi, konten yang dihasilkan memiliki kualitas di bawah rata-rata; prank, pamer kekayaan, mampu mendapatkan jumlah ‘jempol’ yang fantastis.

Meski demikian, hal tersebut bersifat relatif, karena sebagai orang yang mampu berpikir rasional, kita dapat memilih dan memilah konten berkualitas. Youtube, mengambil langkah yang salah dengan menyembunyikan jumlah dislike pada suatu konten yang mungkin dirasa warganet kurang pantas, atau memang benar-benar ampas.

Jangan salah, namun jumlah dislike yang ditampilkan dapat kamu jadikan sebagai cambuk bagi content creator untuk mampu hadirkan konten berkualitas. Dengan menghilangkan jumlah dislike, tentu hal ini akan mendorong pelaku kreatif untuk menghasilkan karya yang ‘suka-suka gue’ ketimbang tawarkan kualitas.

Namun, kreasi ‘suka-suka gue’ oleh content creator pemula tersebut dipicu oleh betapa sedikitnya penonton yang benar-benar mengapresiasi konten yang bermanfaat. Ironis, namun sepertinya hal ini memang tak dapat dihindari, karena Youtube sendiri seolah mendukung konten lahirnya konten ampas.

Ada kemungkinan bahwa Youtube melakukan hal ini untuk tujuan lain, namun saya pribadi sama sekali tidak bisa menebaknya. Karena sebagai tempat yang mewadahi pelaku kreatif, bukankah bila seharusnya Youtube lebih bisa dalam mendukung lahirnya konten-konten berkualitas?

Ketiga, Takkan Efektif

Setelah mengimplementasikan fitur terbarunya yang saat ini baru sebagian video yang dapat menikmatinya, apakah hal tersebut akan efektif? Tentu tidak akan semudah itu, Ferguso.

Meski fitur tersebut memang benar-benar menghilangkan jumlah dislike, namun sang creator tetap dapat melihatnya melalui Youtube Creator Studio. Menurut saya pribadi, hal ini sangat sia-sia dilakukan oleh Youtube. Jikalau mereka memang berdalih ingin melindungi pelaku kreatif pemula, cara seperti ini takkan efektif untuk jangka waktu lama.

Terlebih bila kita mengaitkan ‘fitur’ terbaru dari Youtube ini dengan dislike mob atau review bomb, menurut saya masih kurang efektif. Dan bilapun mereka berdalih untuk melindungi sebuah brand baru sekalipun, saya makin yakin bahwa hal tersebut takkan bisa bertahan lama.

Bahkan, content creator sekelas Pewdiepie pun nyatakan tidak setuju dengan implementasi Youtube, bahkan mengatakan hal ini merupakan tindakan yang bodoh. Ia pun menyatakan bahwa jumlah like dan dislike, merupakan salah satu tolak ukur kualitas konten yang dihasilkan oleh content creator.

Kecuali bila memang konten yang dihasilkan sempat tuai kontroversi seperti yang dilakukan oleh Logan Paul, sudah pasti ia pantas mendapatkannya.

Dan bila implementasi ini bertujuan untuk melindungi creator kecil dari bully sekalipun, rasanya langkah yang diambil Youtube sudah termasuk overprotektif. Karena seperti yang Felix ‘Pewdiepie’ Kjelberg katakan, hal ini justru akan semakin membuat pelaku kreatif membuat konten ‘semau gue’ sebebas-bebasnya.

Kesimpulan

Tak puas hanya ingin memberikan sekedar buah pikiran, saya iseng membuat sebuah status dan meminta teman-teman saya untuk membagikan pendapatnya.

Meski tidak terlalu ramai, namun ada beberapa teman yang mengirimkan pesannya secara pribadi untuk berbagi pendapat.

Salah seorang teman berpendapat bahwa implementasi fitur tersebut masih samar-samar. Ia mendukung bahwa implementasi Youtube ini patut didukung, namun di sisi lain, tak dapat jamin sang creator terlepas dari stress.

Dan tidak sekedar mengungkapkan kekecewaannya terhadap implementasi terbaru Youtube, ada pula yang ungkapkan hal berbeda, yaitu ads yang kurang relevan. Ia menyatakan bahwa ads yang diberikan Youtube sama sekali tidak cocok dengan video yang ditontonnya, untuk kemudian dijejali ads lainnya.

Sekiranya itulah opini singkat saya terkait mengapa Youtube harus hilangkan tombol dislike di platform-nya. Sekedar menambahkan, hal ini justru akan semakin membuat para content creator ke depannya akan menghadirkan konten sesuka hati ala mereka.

Memang tidak ada yang sempurna di dunia ini, namun implementasi Youtube ini seolah mendukung lahirnya konten-konten tak berkualitas ke depannya. Semoga saya salah memandang hal ini, dan semoga para content creator di Indonesia semakin bersemangat dalam menelurkan karyanya.


Baca juga informasi menarik lainnya terkait Tech atau artikel lainnya dari Bima. For further information and other inquiries, you can contact us via author@gamebrott.com

Exit mobile version