Gacha agaknya telah menjadi sesuatu yang umum dalam industri game zaman now, terutama dalam segmentasi pasar mobile. Sebagian besar hadir di dalam game-game RPG, namun tidak jarang gacha juga diimplementasikan ke dalam game non-RPG yang miliki elemen kompetitif (PvP). Kenapa? Karena gacha bisa dibilang salah satu sumber cuan terbesar di dalam game-game free-to-play.
Kamu mungkin mengetahui bahwa gacha berasal dari kata gachapon; sejenis vending machine di Jepang yang secara khusus menjual berbagai mainan yang dibungkus di dalam kapsul. Dan seperti gacha pada video game, pembeli akan mendapatkan mainan secara acak dari mesin-mesin tersebut.
Namun pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana awal mula hadirnya sistem gacha hingga bisa menjadi sesuatu yang sukses membolongi dompet seseorang dan konsepnya sendiri kini sering didiskreditkan oleh banyak gamer?
Gacha sebagai koleksi
Konsep Gacha bisa dibilang berangkat dari daya tarik dalam melengkapi sebuah koleksi, dimana hal ini tentunya sudah terjadi sejak lama sebelum video game diciptakan. Sekitar tahun 1870-an, industri tembakau di Amerika mulai menjual berbagai produknya dengan menyertakan kartu bertemakan olahraga untuk dikoleksi di dalamnya. Hal ini terbukti meningkatkan penjualan produk rokok mereka, karena orang-orang yang membelinya terstimulus untuk melengkapi koleksi kartu-kartu dari produk tersebut.
Sebagai contoh, satu set koleksi terdiri dari sepuluh kartu misalnya, dan kemungkinan untuk mendapatkan kartu yang sama pastilah besar. Hal ini tentu cenderung membuat orang-orang harus membeli lebih dari sepuluh kali produk tersebut jika ingin melengkapi koleksinya. Dari sini kita bisa melihat bahwa hasrat ingin mengoleksi bisa dimanfaatkan untuk datangkan cuan lebih.
Mesin gacha baru muncul di publik pada tahun 1965 dari tangan Ryuzo Shigeta. Beliau menghadirkan mesin gacha pertama dengan mainan-mainan kecil yang berasal dari Hong Kong. Eksistensi perdananya tersebut terbilang cukup sukses di Jepang dan populer di kalangan anak-anak sekolahan sebagai mainan koleksi. Perlu diketahui bahwa awalnya mesin gacha tersebut dinamai Capsule Machine, namun anak-anak memanggilnya gacha karena suara yang dihasilkan ketika mainan keluar dari mesinnya terdengar seperti “ga-cha”
Kepopuleran konsep permainan gacha di Jepang tentunya semakin berkembang seiring berjalannya waktu. Konten dalam gacha tidak lagi sekadar hanya melengkapi koleksi saja, namun ada beberapa faktor lain seperti tingkat kualitas; mainan yang lebih detail dan penuh warna, dimana membuat beberapa bagian dari koleksi mainan tersebut lebih bernilai dan lebih sulit untuk didapatkan. Hal tersebut juga dilakukan untuk menggaet target konsumen yang lebih dewasa.
Ketika kualitas mainan dalam gacha menentukan seberapa berharga nilainya, koleksi kartu bisa dibilang mengambil rute yang berbeda. Pada tahun 1993, hadir Magic: The Gathering yang tidak lagi sekadar mengkoleksi kartu, namun juga menyertakan serangkaian peraturan dan deskripsi di masing-masing kartu dan membuatnya dapat dimainkan. Seberapa kompleks interaksi atau efek sebuah kartu di dalam permainannya menentukan seberapa bernilainya kartu tersebut, terlepas bahwa kualitas atau bahan kartunya sendiri cenderung sama. Magic: The Gathering tentunya hadir juga sebagai yang memprakasai konsep permainan TCG maupun CCG.
Gacha sebagai monetisasi
Konsep gacha sendiri pertama kali teraplikasikan di dalam video game melalui monetisasi yang dilakukan oleh sebuah MMO asal China, ZT Online. Game keluaran tahun 2006 tersebut hadirkan sistem lootbox (sebutan lain gacha yang lebih umum di barat) berisikan item in-game yang cukup berharga, bahkan pemain berkesempatan mendapatkan “pemain pengganti” atau AI yang akan menaikkan level karaktermu secara otomatis. Monetisasi yang dihadirkan dalam ZT Online juga kerap dianggap jauh lebih agresif daripada yang dilakukan oleh berbagai developer rakus zaman now.
Konsep visual lootbox yang menggunakan kunci dan gembok di ZT Online tersebut juga tentunya muncul kembali di banyak game online dalam satu dekade terakhir ini, salah satunya seperti Counter-Strike: Global Offensive.
Namun monetisasi gacha dalam video game baru dipopulerkan oleh Dragon Collection garapan Konami yang dirilis di tahun 2010. Premis permainannya sendiri adalah dungeon crawler berkedok card battler dengan fokus pada aspek mengoleksi berbagai item yang berharga ketimbang elemen bertempur ataupun eksplorasinya. Secara berkala, pemain akan mendapatkan chest yang berisi artifak spesial, dan pemain dapat menggunakan uang sungguhan untuk mendapatkan chest tersebut sesering mungkin. Game besutan Konami ini kemudian ‘menginspirasi’ developer lain untuk menghadirkan game dengan sistem monetisasi yang serupa, bahkan lebih agresif.
Semakin kesini, developer juga semakin ‘kreatif’ mengimplementasikan gacha agar dapat ‘memotivasi’ pemain untuk menghabiskan uang di dalam gamenya. Call of Duty World War II misalnya, dimana game besutan Activision ini miliki sebuah fitur dimana pemain akan membuka lootbox di depan pemain lainnya. Mendapatkan gacha bagus di depan pemain lain secara tidak langsung mungkin akan memberikan mereka ‘motivasi’ untuk melakukan hal serupa.
Hal yang dilakukan Activision tersebut tentunya tentu tidak berbeda dengan pemain yang doyan mengunggah kesuksesan tarikan gachanya di media sosial. Dimana tentunya dapat membuat pemain lain merasa kesal atau tergarami karena tidak kunjung mendapatkan gacha yang diinginkan. Ada dua kemungkinan yang bisa terjadi; pemain akan meninggalkan gamenya atau justru memilih rela menggunakan uang sungguhan untuk menarik gacha lebih banyak sampai hasrat mendapatkan gacha yang diinginkan terpenuhi.
Developer tentu paham bahwa keberuntungan setiap orang dalam menarik gacha berbeda-beda. Demi mencegah pemain berhenti lebih awal karena terus-terusan menarik gacha yang ampas, banyak game bergacha zaman now hadirkan sistem pity roll; pemain diberikan kesempatan pasti untuk mendapatkan gacha bagus pada tarikan kesekian. Ya, dirimu dikasihani karena miliki keberuntungan yang ampas. Beberapa developer bahkan memberikan kesempatan re-roll berkali-kali di awal permainan agar pemain mendapatkan gacha yang diinginkan tanpa perlu menginstall ulang gamenya
Disaat bersamaan, ada juga developer yang hadirkan sistem gacha yang bisa dibilang memberikan false sense of satisfaction bagi pemainnya. Mengambil contoh game Exos Heroes misalnya, dimana terbilang cukup mudah mendapatkan karakter-karakter bintang lima, namun beberapa karakter di antaranya justru hadir lebih overpowered dengan persentase mendapatkannya jauh lebih kecil, sehingga pemain akan lebih sering mendapatkan karakter bintang lima dengan kemampuan yang ampas.
Semenjak booming-nya kerakusan EA pada Star Wars: Battlefront 2, banyak gamer mulai muak dengan sistem gacha atau lootbox, terutama pada game yang sudah berbayar. Ketika berbagai developer maupun publisher game barat kini mulai berhati-hati dengan monetisasi dalam gamenya, mengapa game-game yang berasal dari timur, terutama China dan Jepang justru terus memaksimalkan monetisasi gacha? Mengapa mereka terus-terusan menghadirkan game free-to-play dengan gacha yang notabene dibenci banyak gamer?
Gacha sebagai adiksi
Di Indonesia tentu kita sering mendengar istilah bertaruh nasib, dimana kita menyerahkan semua yang akan terjadi pada keberuntungan. Mekanisme-mekanisme game gacha yang tidak memiliki kepastian dan sepenuhnya bergantung pada keberuntungan tentu pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan judi. Dan sama seperti judi, gacha bisa tumbuhkan rasa adiktif dalam mempertaruhkan nasib
Walau aktivitas judi di Indonesia sendiri adalah ilegal, negara-negara Asia memiliki budaya judi yang cukup kental, terutama di China dan Jepang. Serkan Toto selaku konsultan di industri video game menyatakan bahwa masyarakat Jepang sangat menyenangi aktivitas judi, terlepas dari kenyataan bahwa judi tetap memiliki stigma yang buruk di masyarakatnya. Hal ini tentu bisa kita lihat dari industri pachinko yang cukup sukses di Jepang, seperti Konami yang ‘mengorbankan’ beberapa gamenya menjadi mesin pachinko demi memenuhi hasrat berjudi masyarakat Jepang.
Kamu mungkin bertanya-tanya mengapa judi atau gacha bisa terasa sangat adiktif bagi sebagian orang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa otak terstimulus saat mendapati situasi risk versus reward. Ketika imbalan mengalahkan resiko, maka otak mengeluarkan zat dopamine dan serotonin yang memberikan kita rasa bahagia, euforia, mood jelek langsung bagus, bahkan motivasi untuk melakukan aktivitas yang sama berkali-kali. Tentu kita senang ketika mendapatkan gacha yang bagus bukan?
Namun ketika kita mendapatkan gacha yang jelek, apakah kita berhenti bermain? Mungkin berhenti ketika terjadi berkali-kali, namun sebagian orang justru tetap melanjutkan karena mereka ingin kembali merasakan sensasi adrenalin yang muncul saat menarik gacha. Tidak hanya itu, manusia pada dasarnya tidak suka dengan kekalahan, apalagi jika yang menentukan adalah keberuntungan. Dalam konteks judi, orang-orang tentu ingin menang lebih banyak daripada kalahnya, atau biasa disebut dengan loss chasing. Monte Carlo fallacy atau gambler’s fallacy menyatakan bahwa pemain yang kalah dalam judi terus-terusan akan memiliki pikiran bahwa bad luck pasti akan berakhir dan taruhan berikutnya akan lebih baik. Hal ini tentunya juga berlaku dalam konteks gacha, kita terus menarik gacha dengan harapan tarikan berikutnya tidak akan seampas tarikan-tarikan sebelumnya.
Namun ketika tarikan gacha ampas tak kunjung berhenti, banyak orang memilih untuk mengambil jalan pintas demi mendapatkan gacha yang diinginkan dengan menggunakan uang sungguhan. Kebanyakan mungkin rela menghabiskan ratusan ribu hingga jutaan uang saja, namun tidak sedikit juga yang rela merogoh kocek hingga ratusan juta. Bahkan seorang pemain Fate/Grand Order asal Jepang rela menghabiskan uang hingga satu milyar dengan motivasi memperkuat line-up karakter bertempurnya. Kamu mungkin mengenal orang-orang ini dengan istilah whaler.
Hal ini mungkin secara tidak langsung menyatakan bahwa gacha bagus hanya berlaku bagi orang yang siap mengeluarkan banyak duit. Seolah-olah merefleksikan aktivitas Judi yang sejatinya dikenal sebagai hobi orang kaya.
Pada akhirnya, gacha ataupun lootbox tidak lagi soal koleksi mainan, namun kini menjadi judi dalam kedok video game yang notabene lebih mudah diakses oleh berbagai kalangan, termasuk anak-anak. Beberapa negara bahkan sudah mulai menghadirkan regulasi tersendiri terkait lootbox dalam video game, demi melindungi konsumen dari kerakusan developer dalam memonetisasikan gamenya. Indonesia sebagai salah satu pasar terbesar mobile gaming tentunya tidak lepas dari serbuan monetisasi gacha, sehingga kedepannya diharapkan ada regulasi khusus dari pemerintah agar developer atau publisher tidak berbuat seenaknya saat merilis game di Indonesia.
Berbagi sedikit akan pengalaman bermain game gacha, saya sendiri termasuk yang tidak keberatan untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk memaksimalkan pengalaman bermain, asalkan gamenya sendiri memang pada dasarnya sudah berkualitas. Beberapa game bergacha diantaranya yang saya mainkan dan setidaknya sudah mengeluarkan uang untuk gacha adalah Valiant Force, King’s Raid, Arknights dan baru-baru ini Exos Heroes. Dari semua game yang saya sebutkan tersebut, Arknights miliki monetisasi yang sangat bisa dihindari karena permainan sepenuhnya bergantung pada intelektualitas pemainnya dan tidak ada elemen kompetitifnya. Kemudian Exos Heroes mungkin jadi game dengan monetisasi yang cukup agresif dan berlapis-lapis, bahkan miliki dua jenis Battle Pass dengan harga yang hampir tiga kali lebih tinggi dari kebanyakan Battle Pass di game free-to-play lainnya.
Nah, kira-kira bagaimana pendapatmu tentang gacha yang terus merajalela dalam pasar game-game mobile free-to-play ini? Apakah kamu termasuk yang membenci monetisasi gacha? Atau justru yang telah merogoh kocek jutaan demi gambar .png impian? Yuk, langsung aja share pengalamanmu atau pendapatmu di kolom komentar ya!
Baca juga informasi menarik lainnya terkait game Gacha atau artikel keren lainnya dari Andy Julianto. For further information and other inquiries, you can contact us via author@gamebrott.com