Videogame memang menyenangkan, dan terkadang berikan pengalaman tak terlupakan kepada pemainnya. Semua gamer akan setuju dengan perkataan tersebut mau dia gamer hardcore atau tidak. Mau itu game seperti Super Mario dan Zelda yang tawarkan gameplay asik dari awal sampai akhir, ataupun game seperti Journey, The Last of us, dan Bioshock yang berikan cerita yang bikin “wow” pemainnya, misi dari developer tetaplah satu: membuat gamer merasa puas dengan game yang dimainkan mereka. Hanya saja, apakah gamer ini berkenan untuk membayar hasil dari kerja keras mereka tersebut ?
Pembajakan bukanlah masalah baru dan juga bukan lagi masalah yang kecil. Berbagai cara telah dilakukan industri game untuk memberantas pembajakan, namun sifatnya terkadang hanya sementara sebelum dibobol oleh peretas. Alasan kenapa pembajak ini membajak game yang mereka mainkan pun beragam. Ada yang karena ingin mencoba sebelum membeli, karena game tak tersedia di negara mereka, karena memang dasarnya gak mau bayar, dan tentu saja yang paling klasik: “karena game terlalu mahal dan saya tak punya uangnya”.
Daftar isi
Fenomena bajakan di Indonesia
Dari berbagai alasan yang ada, saya begitu mengerti mengapa alasan “Harga gamenya terlalu mahal” menjadi alasan paling sering dilontarkan oleh gamer bajakan. Game sekarang rata – rata dihargai Rp. 200ribu hingga Rp. 700ribu tergantung dari tingkat produksinya, harga yang tergolong mahal untuk sebuah hobi semata.
Harga yang mahal ini memicu lebih populernya bajakan di pasar Indonesia. Apabila kita pikir kembali, ada alasan kenapa PS3 dan PS4 tak seheboh PS1 dan PS2. PS4 belum ada bajakan sama sekali dan PS3 meskipun sudah dibajak, caranya rempong dibandingkan generasi sebelumnya. PS1 dan PS2 hanya perlu memasukan disk bajakan kedalam console lalu game nya langsung berjalan. Game bajakan juga dijual begitu murah mulai dari Rp. 5000 hingga paling mahal mungkin hanya sekitar Rp. 20.000.
Di era internet sekarang ini, wajar apabila gamer console PS1 dan PS2 mulai beralih ke PC karena mudahnya mereka mengakses website penyedia game PC bajakan di internet.
Apapun alasanmu, bajak game tetaplah mencuri
Banyak yang mengatakan membajak bukanlah mencuri karena tak ada “benda fisik yang hilang dan mereka hanya mengkopi benda digital” yang ada. Gambar diatas menjadi salah satu “senjata andalan” para pembajak, dan pada dasarnya ada benarnya sedikit… yup, sedikit. Pembuatan game butuh waktu, kerja keras dan tentu saja uang untuk membuatnya. Sang pembuat yaitu developer, berhak gunakan karya mereka tersebut untuk diberikan secara gratis ataupun dijual ke publik untuk balik modal dan mendapatkan keuntungan dari hasil perjuangan mereka. Pembajakan mungkin tak mencuri benda fisik dan memindahkan benda fisik dari tempat aslinya, tetapi pembajakan dapat mencuri penjualan dari game tersebut.
Apabila mencuri karena alasan “nggak ada duit” untuk hal lain lain dianggap salah, lalu apa yang membuat videogame begitu spesial sampai – sampai prinsip “saya nggak punya duit, jadi saya bajak aja gamenya” sah-sah saja ?
“Untuk apa beli mahal – mahal apabila ada yang gratis/ bajakan murah?”
Karena buatnya nggak gratis !
Mengulang perkataan saya sebelumnya, game butuh waktu, kerja keras dan uang untuk dibuat. Developer berhak untuk diberikan support lewat membeli game tersebut khususnya jika karya mereka tersebut memang bagus dan layak. Tak perlu jauh-jauh bicara soal modal dan waktu pembuatan game yang lama, kita ambil saja contoh paling mudah dari sosial media: curry meme.
Orang begitu salty saat meme buatan mereka yang paling butuh waktu beberapa menit di Photoshop di-curry oleh fanspage meme sebelah tanpa seizin kamu. Kini bayangkan apabila kamu buat game selama 1-5 tahun, habis uang begitu banyak, dan saat dirilis hanya dibajak massal oleh internet, terbayangkah betapa sakitnya olehmu ?
“Saya kan cuman satu orang, nggak mungkin lah bakal rugi yang buat”
Ya, kamu cuman satu orang, jadi nggak mungkin developer bakal bangkrut begitu saja kalau hanya satu orang. Namun apabila ribuan hingga jutaan orang di seluruh dunia ini memiliki mindset yang sama sepertimu, keadaannya akan berubah.
Sama seperti bisnis lain pada umumnya, developer ingin dapatkan keuntungan sebesar mungkin dari hasil kerja kerasnya. Mereka bukan badan amal yang kerjakan semuanya secara gratis, dan kalaupun iya, mereka tetap berhak untuk dapatkan uang dari penikmat hasil karyanya.
“Saya gak punya duit, dan hanya bermain game single – player, apakah salah?”
Jawaban pendek: ya
Jawaban panjang: yaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.
Kami bisa mengerti disaat kamu begitu ingin memainkan game terbaru tetapi kepepet isi kantong, namun harus kamu sadari jika aksimu itu benar-benar menyakiti developer.
Sedikit curhat, saya juga pernah membajak video game saat masih kecil, alasannya jelas karena saya tak punya uang untuk membeli game. Namun saya sadar tindakan saya tersebut sama saja mencuri, tapi karena tak sabar ingin punya game baru dan juga tergoda harga yang jauh lebih murah, saya tetap ambil bajakan. Beberapa tahun kemudian, developer favorit saya seperti Lucasart dan Irrational Games ditutup, dan meskipun sebagai satu orang yang mungkin takkan mengubah keadaan apapun jika saya beli produk mereka secara orisinil, saya merasa ikut serta dalam “membunuh” studio developer tersebut.
Apabila ada studio bagus lainnya yang tiba-tiba tutup, satu-satunya yang bisa disalahkan adalah kamu dan gamer bajakan lainnya. Apabila game bagus yang mereka buat terjual baik, istilah “gulung tikar” sudah seharusnya jauh dari mereka.
Dampak yang sudah terasa
Saya sebelumnya pernah menyebutkan apabila pengembangan game semakin lama semakin memakan uang yang banyak, tetapi jumlah penjualannya tetap sama saja membuat developer ataupun publisher mencoba berbagai cara untuk kembalikan modal mereka yaitu lewat DLC, Season Pass dan microtransaction. Tanpa pembajakan pun mungkin ketiga hal tersebut tetap saja terjadi, namun keberadaan pembajakan yang luas juga benar-benar mendorong bisnis semacam ini terus terjadi dalam berbagai bentuk baru.
Terkadang saya bisa mengerti keberadaan microtransaction dan DLC skin di game multiplayer karena mereka ingin terus cari dana untuk biaya hidupkan server, namun untuk game single player seperti Deus Ex: Mankind Divided ataupun yang Shadow of War mendatang ? Mungkin terlalu berlebihan. Sayangnya hal tersebut akan terus terjadi karena perusahaan ingin modal mereka balik dan terlalu pesimis konsumen akan membayar apa yang mereka mainkan.
Dampak lain yang juga sudah terasa adalah game mobile yang “money-grabbing trash“. Banyak developer mulai berpikir “Untuk apa capek-capek buat game bagus kalau bisa buat game mediocre dengan microtransaction dan iklan yang banyak?” Dan mirisnya bisnis seperti itu laku keras di pasar mobile, sampai – sampai developer Indonesia (tidak semua) melakukan hal serupa pada game mereka.
Bicara soal developer Indonesia, tidakkah kamu sadar jika 80% developer lokal hanya berani buat game mobile ketimbang game PC / console ? Tak hanya karena biayanya lebih murah, tetapi juga karena pemikiran “ngapain capek buat yang bagus?” di paragraf sebelumnya. Tak ada maksud untuk mengatakan jika semua game mobile buatan Indonesia itu jelek, tapi yang memang bagus dan bukan cashgrab bisa dihitung dengan jari.
Membuat game PC / console terlalu beresiko untuk mereka karena mereka tahu perjuangannya jauh lebih sulit dan masyarakatnya masih punya mental bajakan / gratisan. Trend game mobile ini akan terus berlanjut sampai kita sendiri yang mau berubah, namun yang menjadi pertanyaan adalah “kapan?”
Apabila kamu masih ingin gaming tetap sebagus yang kamu ingat, support lah developer
Kami mungkin tak mampu untuk mendorongmu untuk beralih ke original karena masalah kantong ini serta hype untuk bermain game terbaru yang memang tak mampu dilawan. Tapi kami hanya ingin sarankan jika kamu ingin terus lihat developer favoritmu membuat game baru, maka cobalah untuk simpan uang dan support game mereka meski jika itu berarti membelinya di saat diskon.
Banyak orang membenci keberadaan season pass, DLC kebanyakan, dan microtransaction. Tapi semuanya pada dasarnya adalah akibat kita sendiri. Seperti yang saya kutip sebelumnya, biaya pembuatan videogame semakin lama semakin mahal, namun angka penjualannya tetap sama. Hal ini membuat para developer ataupun publisher mencoba segala cara untuk mengembalikan modal pembuatan ataupun mendapatkan keuntungan dari penjualan game yang telah mereka buat.
Video game akan tetap ada, namun apakah ia akan terus menjadi media entertainment yang menyenangkan seperti sekarang atau akan menjadi cashgrab media, kita sebagai gamer yang menjadi faktor penentunya. Apabila kita terus mendukung developer game seperti CD Projekt Red, Yacht Club dan Arkane Studios, mungkin kita akan terus dapatkan game berkualitas dan penuh konten dari mereka. Tapi jika kita terus abaikan usaha developer bagus ini dengan hanya membajak game mereka, jangan bingung apabila kedepannya developer favoritmu mati dan game yang kamu mainkan nanti hanya miliki 10% konten dan sisanya diblokir oleh paywall.