Keberadaan Rage 2 menjadi sesuatu yang tidak diekspektasi. Dari seluruh game yang telah dirilis oleh studio legendaris Id Software, Rage mungkin menjadi seri game yang paling terlupakan. Berbeda dengan Doom, Quake dan Wolfenstein yang penuh karakteristik unik dan ikonik, Rage tidak meninggalkan kesan spesial apapun layaknya game-game yang telah disebutkan sebelumnya.
Apapun pendapatmu akan Rage pertama, game kedua kini telah dirilis dan menjadi kolaborasi dari dua studio yaitu Id Software sendiri serta Avalanche Studios yang dikenal akan franchise Just Cause mereka. Memadukan keahlian Id Software dalam genre FPS serta pengalaman Avalanche Studios dalam meracik open-world penuh ledakan, sebagus apakah Rage 2 ini? Kita lihat saja langsung.
Daftar isi
Cerita klise yang sudah jelas tidak jadi fokus game
Kamu bermain sebagai Walker, laki-laki atau perempuan, itu tergantung pilihanmu di awal game. Kamu adalah prajurit biasa yang dimana markasnya diserang oleh pasukan Authority – sebuah organisasi dengan teknologi canggih yang dipimpin oleh Martin Cross yang juga merupakan antagonis dari game pertama.
Dibantai oleh pasukan Authority, kamu menjadi prajurit ranger terakhir yang masih hidup. Kini tugasmu ialah menemui ketiga tokoh penting – John Marshall, Antonin Kvasir, dan Loosum Hagar untuk melanjutkan Project Dagger yang sempat dibatalkan dan membalas dendam terhadap Martin Cross untuk menghabisi satu-satunya keluarga yang Walker miliki.
Dua paragraf diatas merupakan keseluruhan cerita dari Rage 2. Ya, ada beberapa konflik ini itu yang menghalangi rencanamu berjalan mulus, tetapi terlihat jelas jika aspek cerita bukanlah fokus utama dari game ini dan tampaknya kedua developer memang tidak berusaha untuk tawarkan cerita kelas Bioshock maupun Red Dead Redemption untuk sekuel ini.
Saya tak ada masalah dengan cerita sederhana. Tetapi hal yang paling mengganggu dari kualitas cerita Rage 2 ialah karakter yang ada di game ini sendiri. Tak ada satupun karakter yang memberikan kesan memorable atau bahkan likeable sepanjang game. Semuanya terlihat seakan mencoba sebisa mungkin untuk tampil tangguh dan edgy, tetapi karena eksekusinya yang buruk, kamu justru lebih merasa geli melihat dialog maupun aksi yang dilakukan tiap karakter utama yang terlibat.
Sebagai contoh terbesar, Jendral Cross dibesar-besarkan untuk menjadi sosok antagonis yang kejam, tak takut mati serta sadis, tetapi tak banyak waktu kamu habiskan bersama karakter tersebut serta sekalinya bertemu, dia selalu dihiasi dengan dialog buruk serta nama panggilan menggelikan yaitu “pointless protege” yang justru lebih memberikan kesan menggelikan ketimbang membuat pemain tersindir dan panas akan karakternya.
Cerita bagus mungkin tidak harus selalu menjadi keharusan untuk tipe game seperti ini, tetapi eksekusi yang buruk terkadang memang mengurangi tingkat kepuasan bermain.
Estetika yang lebih baik
Game pertama menonjolkan kemampuan visual dari engine baru dan bahkan terus pamerkan kemampuan “mega texture” yang game miliki. Tetapi sayangnya artstyle yang hambar menjadi salah satu kenapa banyak orang melupakan game tersebut.
Avalanche merombak artsyle pada game kedua ini. Ketimbang hadir dengan mood super serius dan penuh coklat, Rage 2 campurkan beberapa warna dalam dunia post-apocalyptic ala Mad Max mereka. Banyak yang membandingkan game ini dengan Far Cry: New Dawn tetapi ada perbedaan besar antara kedua game. Far Cry: New Dawn miliki artstyle “warna warni” lebih karena vegetasi di game sedangkan Rage 2 tampil warna warni lebih dikarenakan objek, visual efek serta desain karakternya yang bertema semi-futuristik dan punk.
Secara keseluruhan, visual dari game ini lebih baik tak hanya karena teknologi yang lebih modern, tetapi juga estetika yang lebih memanjakan mata ketimbang sekedar kecoklatan pada game sebelumnya.
Gunplay cepat, brutal, dan penuh adrenalin
Jika ada satu hal yang sudah jadi ciri khas dari Id Software, ia adalah gunplay yang sangat memuaskan. Setelah berhasil membuat Doom (2015) tetaplah relevan di zaman modern saat ini dengan berbagai formula baru pada aspek gunplay, Id Software kembali menawarkan sensasi yang sama dengan kumpulan mekanik yang berbeda pada Rage 2.
Suara senjata, gerakan yang mulus, kontrol yang tidak ada masalah, recoil yang pas, dan koleksi arsenal senjata yang bervariasi membuat gunplay dari Rage 2 mustahil untuk dibenci. Tiap pertempuran dengan musuh seakan menjadi arena unjuk kreatifitasmu dalam memamfaatkan tiap mekanik dan senjata game.
Pada awal game, kamu hanya dimodali dengan pistol dan rifle yang menjadi senjata standar di tiap FPS. Tetapi semakin lama kamu bermain, kamu akan temukan berbagai senjata lain seperti pulse gun, revolver yang dapat diledakkan secara manual, rocket launcher, dan bahkan senjata ikonik Doom – BFG 9000. Seluruh senjata ini miliki serangan alternatif masing-masing yang diaktifkan lewat klik kanan atau tombol trigger kanan. Sebagai contoh, Shotgun dapat diubah menjadi semacam senjata udara yang dapat pentalkan musuh, rocket launcher dapat dibuat menjadi autolock ketika menggunakan alternate fire, dan masih banyak lagi.
Selain senjata, kamu juga miliki opsi untuk menggunakan skil superhuman dari armor ranger yang walker gunakan. Skill mulai dari dash, double jump hingga slam dan vortex hole akan menambah kompleksitas gunplay dan meningkatkan opsi cara bertarungmu ketika dihadapkan dengan horde musuh.
Tak banyak yang bisa saya komentari dari aspek gunplay Rage 2. Bahkan bisa saya katakan game ini tawarkan salah satu sensasi menembak terbaik yang saya rasakan setelah Titanfall dan Doom (2015). Kini saya tak sabar untuk melihat segila apa eksekusi Id Software pada Doom Eternal nanti.
Literally wasteland
Bermain Rage 2 dari awal sampai akhir membuat saya berharap game ini dibuat menjadi game linear seperti Doom maupun Wolfenstein. Kenapa demikian? Karena open-world yang ditawarkan terkesan lebih seperti filler untuk memperlama durasi game ketimbang memberikan pengalaman bermain yang masif.
Open-world dari Rage 2 pada dasarnya mirip dengan formula game Ubisoft. Kamu dikasih dunia luas dengan ratusan aktivitas sampingan tersebar di tiap sudut area map. Tak hanya game ini, hampir semua game open-world saat ini meniru formula tersebut, tetapi eksekusi tetap menjadi kunci utama dari game semacam ini dan Avalanche Studios gagal untuk melakukannya.
Sedikit ironis untuk mengatakan ini, tetapi dunia open-world dari Rage 2 terkesan sangat sepi dan membosankan. Meskipun banyak misi dan konflik random yang terjadi saat kamu bereksplorasi, kamu akan merasa seperti telah melihat semua yang game tawarkan di sesi open-world mereka dalam waktu 1-2 jam pertama bermain.
Singkatnya, open-world dari Rage 2 terlalu monoton dan didesain semata untuk membuat durasi game lebih lama dari seharusnya. Mungkin banyak gamer yang harapkan durasi lama ketika membeli game full-price, tapi secara pribadi, saya lebih apresiasi game singkat tetapi fun dari awal hingga akhir secara konstan ketimbang game berdurasi lama tetapi momen ‘fun’ terpisah-pisah diantara 30 jam penuh dengan aktivitas monoton.
Sayangnya kamu mau tak mau harus eksplorasi dunia yang benar-benar wasteland ini apabila kamu ingin dapatkan skill, senjata serta upgrade karena seluruh hal tersebut disebar di berbagai titik di sesi open-world. Apabila kamu tidak melakukannya, kamu ajak terjebak dengan 3 senjata saja dan skill dash. Pada dasarnya kamu bisa selesaikan game dengan modal itu saja, tetapi tingkat kepuasan bermain akan berbeda ketika kamu miliki full-arsenal dengan hanya miliki loadout pemberian game.
Boss battle monoton
Sepanjang game kamu akan bertemu beberapa bos, tetapi seluruhnya miliki gimmick yang sama. Kamu tembak hingga shield-nya rusak, titik kelemahannya dalam bentuk semacam baterai akan berkilau dan kamu harus tembaki titik lemah tersebut hingga hancur, lakukan hal tersebut 2-3 kali hingga bos kehabisan darah. Ini ialah satu-satunya bos yang game miliki tetapi diulangi ratusan kali hingga di sesi akhir game.
Secara desain pun, seluruh bos ini terlihat sama yaitu semacam mutan raksasa dengan wajah yang seakan meleleh. Saya tahu membuat bos dengan gimmick berbeda-beda itu sulit di game shooter, tetapi setidaknya penampilan dan desain mereka dibuat sedikit berbeda satu sama lain.
Hampir mustahil untuk tidak tmenepuk jidat ketika mereka tunjukkan bos yang sama tetapi di misi yang berbeda. Tampaknya akan lebih baik apabila mereka menaruh variasi musuh baru yang lebih tangguh layaknya di Doom ketimbang terus meng-copy paste bos yang ada seperti ini.
Sesi kendaraan yang kurang dimaksimalkan
Rage mengambil banyak inspirasi dari Mad Max dan Avalanche sebelumnya telah pernah kembangkan game adaptasi dari film tersebut, sayangnya pengalaman mereka tidak sepenuhnya ditumpahkan pada game ini.
Aspek kendaraan di Rage 2 terkesan kurang matang. Ada banyak kendaraan yang ditawarkan game, tetapi tak banyak alasan untuk mengendarai mereka selain untuk menuju tempat A ke tempat B. Tak jarang game lemparkan konvoy atau semacam mini boss, tetapi itu saja yang ditawarkan dan dalam beberapa kali kamu menemuinya, kamu akan merasa bosan dan mengabaikan eksistensinya secara keseluruhan.
Penuh dengan upgrade untuk perkuat karaktermu
Rage 2 penuh dengan opsi upgrade mulai dari upgrade senjata, upgrade skill, upgrade inventory, hingga upgrade tambahan bawaan dair Project Dagger. Semuannya membutuhkan bahan dasar feltrite untuk membuat tier upgrade, tetapi untuk membuka perk-nya sendiri kamu akan membutuhkan mod masing-masing. Senjata membutuhkan mod senjata, kendaraan membutuhkan mod kendaraan, dan lain-lain. Untungnya seluruh upgrade ini sifatnya opsional dan tidak membutuhkan waktu grind yang super lama untuk didapatkan.
Efek dari upgrade ini sendiri ada yang sifatnya masif hinga yang sekedar menambah stat semata. Dari seluruh upgrade yang ada, upgrade senjata menjadi yang paling saya incar. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, saya benar-benar menyukai gunplay dari game ini, dan keberadaan upgrade senjata membuat pola permainan menjadi lebih menarik karena efek yang diberikan terkadang sangat besar untuk diabaikan begitu saja.
Sayangnya mengakses tiap sub-menu upgrade ini terkadang menjadi tantangan besar. Bukan karena ribet atau tersusun berantakan, tetapi lebih karena kesan laggy atau delay tiap beralih ke layar selanjutnya. Hal ini membuat mengakses menu upgrade terkadang merasa menjengkelkan khususnya ketika ada banyak upgrade yang ingin kamu buka dan tiap upgrade tersebut terpisah di sub-menu masing-masing.
Verdict
Saya merasa sedikit dilema akan menentukan verdict dari game ini. Di satu sisi saya puas karena gunplay yang ditawarkan ialah salah satu yang terbaik yang modern FPS sekarang tawarkan, tetapi di sisi lain saya juga merasa kecewa akan eksekusi open-world yang membosankan dan suda terkesan monoton dalam waktu beberapa jam bermain.
Tak hanya open-world, game juga gagal memaksimalkan berbagai aspek seperti karakter, car combat, dan juga boss battle. Tetapi meski dengan seluruh kritik negatif ini, sulit untuk menilai Rage 2 sebagai game buruk karena diluar dari berbagai ketidaksempurnaan yang game miliki, Rage 2 masih tawarkan pengalaman bermain yang ‘fun’ untuk seluruh penggemar shooter.