Rogue dan Era Game D&D
Tahun 80an mulai muncul berbagai game RPG yang semakin dipoles. Judul klasik seperti King’s Quest itu hadir di zaman ini. Salah satu yang mungkin melekat sampai sekarang adalah game Rogue. Ya, istilah roguelike itu berasal dari game ini.
Game RPG yang cukup menantang dengan sistem permadeath ini menjadi game pertama yang memunculkan istilah dungeon crawling.
Kombinasi sistem mati permanen dan dungeon yang berubah-ubah setiap kali main inilah yang jadikan formula sukses game berjenis sama di era modern, yang baru-baru ini mungkin kalian kenalnya game Hades (2020).
Era ini juga jadi pertanda kalau komputer rumahan mulai mendapatkan jumlah unit terjual yang besar, setidaknya di negara maju seperti Amerika Serikat. Bersamaan pula hadirnya berbagai judul besar seperti Wizardry, sebuah game yang punya kepopuleran di negeri seberang, tepatnya di Jepang.
Game ini kelak yang jadi inspirasi untuk JRPG era awal seperti Final Fantasy, Dragon Quest, dan The Legend of Zelda dimana semua judul itu seperti yang kita ketahui adalah nama yang masih banyak fansnya dan terus dibuatkan judul baru bahkan sampai 2023 sekalipun.
Pembeda antara Wizardry dengan game RPG lainnya adalah ia dimainkan hampir seluruhnya menggunakan menu. Dimana hal ini sangat dibenci oleh orang barat di kala itu. Tapi kepopulerannya di Jepang jadi melekat sampai sekarang.
Game jenis RPG ini juga kebanyakan membawakan tema fantasi. Selain karena memang berakar dari karya Tolkien, game dengan tema ini lebih mudah dibuat di masa itu. Game-nya sendiri tidak membutuhkan cerita yang rumit karena kebanyakan kisahnya adalah angkat pedang dan melawan monster.
Latar fantasi ini juga membuat desain game jadi lebih mudah dilakukan. Kalian tentu lebih mudah membedakan senjata tajam dari bentuk dan ukuran dibandingkan senjata api yang kalau dibuat di resolusi rendah hampir tidak bisa dikenali bentuknya.
Belum lagi medium yang dibutuhkan untuk memasukkan file game-nya sangatlah terbatas dalam urusan kapasitas. Teknologi storage yang paling canggih ketika itu hanyalah floppy disk (atau dikenal dengan disket di Indonesia) yang kita tahu kapasitasnya hanya 720 KB hingga 1,4 MB.
Kalau sebuah game membutuhkan semakin banyak floppy disk, maka game itu akan semakin membengkak biaya pembuatannya. Makanya jangan heran jika game di masa itu kebanyakan adalah dungeon crawling yang minim story. Semua karena keterbatasan media penyimpanan.
Dari tadi kita tidak membahas soal game D&D, padahal game RPG awalnya memang terinspirasi dari versi TTRPG. Bukannya tidak ada, tapi lisensi untuk menciptakan game secara resmi baru diberikan pada pertengahan tahun 80an, Tactical Studies Rules sebagai pemilik Dungeons & Dragons melepas lisensi pembuatan video game dan dirilis lah game Wizard’s Crown oleh Strategic Simulations inc.
Seperti D&D pada umumnya, Wizard’s Crown punya sistem class yang bisa dipilih seperti ranger, sorcerer, priest, fighter, dan thief dimana tiap class juga punya skill mereka sendiri.
SS Inc sepertinya serius dalam mengembangkan game berbasis D&D dengan menciptakan engine game baru bernama Gold Box Engine, nama yang diambil dari kotak penjualan game mereka.
Strategic Simulations tidak hanya menciptakan game yang bertemakan fantasi, namun mereka juga berani banting setir ke cerita berlatarkan abad 25 bernama Buck Rogers: Matrix Cubed. Menunjukkan kalau game RPG tidak melulu harus bergenre fantasi agar bisa laku.
Tapi kalau ada satu judul yang sempat booming di zaman ini tidak lain adalah Ultima (1981). Game ini bisa dikatakan unik karena berani mencampurkan unsur fantasi dengan sci-fi. Developernya bisa memasukkan sci-fi di game ini hanya karena dia punya space sisa yang bisa digunakan.
Karena itulah dia menambahkan stage luar angkasa dimana playernya bisa mendapatkan kekuatan time traveling untuk memutar balik waktu dan kalahkan Mondain sebelum dia berhasil menjadi musuh tak terkalahkan.
Kalau ada hal yang membekas bagi pemain D&D di tahun 80an adalah bagaimana media di AS sana menggambarkan bermain game ini dianggap bersekutu dengan iblis dan mempromosikan satanisme. Hingga kepopuleran D&D sempat turun sesaat. Tapi, berbeda dengan video game malah mengalami peningkatan.
Kreator game Ultima merasa kesal dan menciptakan game Ultima IV yang jauh dari kekerasan. Player harus mengumpulkan nilai kebaikan di dunia dan menjadi simbol harapan.
Tapi, setelah itu di Ultima V segalanya jadi dibalik, dan kalian memainkan sisi seberangnya yang penuh kejahatan. Tidak bisa dipungkiri seri-seri setelahnya juga tidak kalah menarik sebagai game RPG.