Teamfight Tactics League of Legends – Tren datang dan pergi kapan saja. Dalam industri game, sebuah tren ada yang mampu bertahan dalam jangka lama, ada juga yang masa hype-nya hanya sebentar.
Kalian mungkin masih ingat saat di mana semua developer game ingin garap game battle-royale setelah kesuksesan PUBG, atau juga saat di mana semua studio indie ingin buat game survival dengan elemen crafting.
Daftar isi
Mengapa Teamfight Tactics Terus Naik Daun Ketika Auto Battler Lain Meredup?
Game-game dengan genre tersebut masih ada hingga saat ini, membuktikan bahwa ada banyak ruang inovasi untuk keduanya. Namun terkadang sebuah tren muncul dan tak begitu banyak ruang untuk dibuat unik. Salah satu contoh lainnya yang lagi tren saat ini adalah game Teamfight Tactics. Kenapa?
“Terinspirasi” Namun Lebih Sukses
Pada tahun 2019 lalu, sebuah custom game muncul di DOTA berjudul Auto Chess. Konsep dari custom game buatan Drodo ini begitu sederhana, kamu menyusun komposisi tim yang nantinya secara otomatis akan berkelahi dengan tim pemain lain. Dalam satu pertandingan ada 8 pemain, dan game usung sistem eliminasi hingga tersisa satu pemain.
Custom game ini viral sampai-sampai Valve membuatkan microtransaction khusus untuk Auto Chess. Dengan potensinya yang begitu tinggi, drodo mengambil keputusan besar yang masuk akal, membentuk studio baru dan merilis standalone dari game yang sama.
Ketika sebuah game unik viral, studio lain langsung kebut mereplika dan mencoba bersaing di subgenre tersebut. Ketika Valve mencoba membuat spinoff sendiri berjudul Dota Underlords, Riot Games juga ikut dengan membuat mode baru berjudul Teamfight Tactics.
4 tahun kemudian, subgenre auto battler sudah begitu meredup. Auto Chess masih aktif tetapi jauh dari seramai dulu. Dota Underlords sudah diabaikan oleh Valve dan belum lagi mendapat update baru, Magic Chess di Mobile Legends tergolong aktif namun komunitasnya lebih utamakan game MOBA utamanya.
Ketika dibandingkan dari semua auto battler yang telah rilis, Teamfight Tactics atau kita sebut saja TFT menjadi satu-satunya yang masih relevan secara global dan bahkan terus naik daun setiap set baru rilis. Apa yang dilakukan berbeda oleh Riot Games hingga TFT menjadi sukses seperti sekarang?
Berbasis League of Legends, Game MOBA Terbesar Saat Ini
Mari berbicara fakta sesaat, League of Legends menjadi game MOBA dan juga kompetitif terpopuler dan terbesar dari jumlah komunitasnya. Game miliki 180 juta pemain aktif terhitung tahun 2022 lalu, game ini menjadi paling banyak ditonton di Twitch dengan 120 ribu penonton per hari, World 2023 menjadi turnamen eSports paling banyak penonton, dan masih banyak faktor lainnya.
Membuat spinoff di dalam game sebesar LoL tentunya memancing banyak komunitas dari game tersebut untuk mencoba TFT yang alhasil semakin banyak juga yang suka dan menjadi pemain tetap game tersebut.
TFT sendiri menjadi mode yang cocok untuk mereka yang ingin menjauh dari komponen MOBA yang dikenal bikin emosi karena mode utama tersebut sangat berbasis tim. Maka sebagus apapun kamu di game tersebut, besar kemungkinan kamu kalah dan hilang poin ranked hanya karena satu lane emosi atau sering disebut sebagai inting.
TFT menjadi kontras dari MOBA utama karena mode ini menguji skill dan pengetahuan individu. Maka apabila kamu kalah, maka kamu yang memang salah membuat keputusan dan tak ada yang bisa disalahkan selain dirimu sendiri.
Frekuensi Update Lebih Sering dan Terjadwal
Riot Games menjadi contoh benar untuk studio-studio yang ingin kembangkan game “live service”. Tidak sekedar janji dengan roadmap, studio ini memang selalu perbarui game secara berkala dan sesuai jadwal.
Dalam kasus League of Legends dan TFT, game selalu diperbarui sekali per 2 minggu. Maka ketika ada karakter atau kombinasi tertentu terkesan tidak balanced di mata komunitas, Riot akan segera mengatasinya 2 minggu kemudian. Bahkan jika kasus tersebut sudah begitu parah, mereka akan merilis hotfix dadakan sehari kemudian.
Ketika dibandingkan dengan Valve yang tidak menentu dan terkesan “suka-suka mereka” untuk merilis patch, cara Riot Games mengurus game mereka jauh lebih teratur dan membuat komunitas bisa terjun kembali ke game ketika sebuah dibuat kesal akan combo OP yang terus ditemui di tiap match.
Lebih Kompleks, Lebih Sweaty, Lebih Hadiahi Eksperimentasi
Gameplay utama dari auto-battler ialah mengumpulkan karakter dan mencocokannya sesuai trait yang dimiliki. TFT tidak merubah apapun dari formula tersebut, namun banyak mekanik tambahan yang game suntikan untuk menambah elemen random dan juga menguji decision making dari pemain.
Mulai dari keberadaan caraousel di tiap ronde 4, pemilihan augment yang selalu acak, emblem, belum lagi dengan gimmick khusus yang selalu berbeda di tiap set. Pada set 10 yang sedang berlangsung saat artikel ini ditulis memiliki sistem headliner yang di mana memaksa pemain untuk selalu mengubah-ubah komposisi tim mereka kapan saja.
Eksperimen menjadi kunci dalam TFT, dan meskipun meta populer itu selalu ada, tak mungkin kamu dapat bermain hal yang sama di setiap pertandingan dan mau tak mau harus menyesuaikan dengan berbagai faktor yang kamu dapatkan.
Dirombak Total Sebelum Jenuh
Selain dari jadwal patch per 2 minggu, Riot Games juga selalu miliki roadmap yang jelas dan tepat waktu akan update konten. Setiap set akan berlangsung selama 4 bulan yang di mana miliki tema, trait baru, karakter baru, dan mekanik baru yang membuat game kembali fresh setelah satu musim bermain meta yang sama.
Memang di satu sisi kamu dipaksa untuk terus belajar ulang game ketika set baru rilis, yang tentu menjadi penghilang nafsu beberapa pemain khususnya yang tak punya waktu untuk terus up-to-date dengan meta terbaru. Namun di sisi lain, hal ini yang membuat TFT membosankan dalam jangka waktu panjang karena meta telah berubah total sebelum pemain jenuh.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, setiap set membawa tema baru yang unik dan bervariasi mau itu tentang space pirate, konser musikal, perang meka vs kaiju, dan masih banyak lagi. Hal ini berbeda jauh dengan auto battler lain yang dari saya lihat selalu terjebak dengan tema fantasi berbasis dari game utama yang dijadikan fondasi.
Marketing dan Interaksi ke Komunitas
Komunitas League of Legends, Valorant, dan TFT mungkin jadi komunitas paling toxic dari semua game kompetitif yang di mana pemainnya tak pernah puas dan selalu komplain akan apapun yang ada di dalam game. Maka bukan kejutan lagi ketika developer memutuskan untuk berhenti dari posisinya sebagai representatif game melihat playerbase game mereka.
Meskipun begitu, Riot Games selalu terbuka dan interaktif dengan pemainnya. Dalam kasus TFT, Riot Mortdog menjadi salah satu tokoh paling dikenal oleh komunitas karena terus membagikan informasi dan rencana tim mau itu secara resmi atau juga secara personal lewat akun Twitch dan Youtube-nya.
Sementara itu, tim marketing dan sosial media dari TFT juga pandai dalam promosikan game dengan postingan yang selalu relevan dengan meta, tren, meme yang lagi ramai dibahas oleh pemain.
Dan mari kita tidak lupakan setiap trailer promosi yang dirilis menjelang kedatangan set baru. Untuk proyek sampingan di dalam League of Legends, Riot terlalu niat dengan tingkat produksi di setiap animasi promosi yang mereka keluarkan Trailer dari Remix Rumble menjadi contoh terbaru ketika artikel ini rilis.
Baca pula informasi Gamebrott lainnya tentang League of Legends beserta dengan kabar-kabar menarik lainnya seputar dunia video game dari saya, Muhammad Maulana. For further information and other inquiries, you can contact us via author@gamebrott.com.