Sepertinya beberapa perusahaan game besar di Industri game terkena tuntutan yang cukup serius. Tuntutan ini menuntut para perusahaan telah membuat atau memicu Anak ketagihan main game.
Tuntutan ini berasal dari Amerika Serikat. Sebuah Komplain dilaporkan pada tanggal 30 Oktober kemarin di Distrik Timur Arkansas yang menuntut perusahaan besar seperti Microsoft, EA, Activision Blizzard, Ubisoft, dan lainnya.
Sang Ibu Tuntut Perusahaan Game Karena Anak Ketagihan Main Game
Dilansir melalui Insider Gaming, Tuntutan tersebut memiliki 14 tuntutan aksi, dimana hal – hal tersebut termasuk kelalaian dan kegagalan perusahaan untuk memperingati pengguna tentang kualitas adiktif game, misrepresentasi, dan pelanggaran Deceptive Trade Practice Act di Amerika Serikat.
Perusahaan besar yang dituntut adalah Activision Blizzard (seluruh developer Call of Duty), Microsoft Corporation, Electronic Arts (EA DICE), Ubisoft (Ubisoft Montreal), dan juga Epic Games.
Tuntutan tersebut menyatakan bahwa “penyebaran cepat dari adiksi video game” adalah hasil dari perusahaan yang menginginkan konsumen mereka ketagihan terhadap game mereka agar dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi.
Penuntut ini merupakan seorang Ibu yang tinggal di Arkansas yang menuntut atas nama anaknya yang berusia dibawah umur dengan inisal GD, dan suaminya yang merupakan ayah dari anak tersebut.
Alasan Penuntutan Karena Anak Ketagihan Main Game
Berdasarkan tuntutan tersebut, GD yang berusia 13 tahun bermain video game selama 12 hingga 14 jam per harinya meskipun telah dibatasi oleh orang tua. Dirinya sering bermain Fortnite, Call of Duty, dan juga Rainbow Six: Siege.
GD sendiri dikatakan bahwa telah menghabiskan sekitar 350 US Dollar setiap bulannya untuk bermain game. Total keseluruhan yang diklaim adalah GD telah menghabiskan sekitar 3000 US Dollar untuk transaksi in-game dan DLC diluar biaya konsol, game, dan Xbox Game Pass Ultimate.
“Pihak tertuntut membuat, mempublikasi, memasarkan, dan juga menjual video game, termasuk game yang dimainkan oleh GD. Dan para tertuntut secara spesifik mengembangkan dan mendesain(game) untuk mengakibatkan adiksi yang dialami GD dan pengguna lainnya”
Pihak penuntut meminta ganti rugi terhadap kerugian dan kerusakan yang dialami GD akibat adiksi ini seperti sakit fisik pada tangan, siku, dan bahunya serta penanganan yang diperlukan.
Selain itu, pihak penuntut meminta ganti rugi dari kerugian ekonomi yang diakibatkan dari adiksi dan juga biaya penuntutan ini. Total kerugian yang diminta oleh penuntut akan diperkirakan nanti ketika persidangan berlangsung.
Komplain sepanjang 129 halaman tersebut juga menjelaskan secara detail berbagai microtransactions dan sistem monetasi yang menurut penuntut membuat anak – anak dibawah umur menjadi ketagihan bermain game.
Hal – hal tersebut termasuk Loot Box, transaksi Pay-to-Win, dan “Rubber Banding”, dimana tingkat kesulitan dari game berpengaruh terhadap pemain yang menghabiskan atau ingin menghabiskan uang mereka untuk membeli item in-game.
Ada sekitar 16 hak paten yang mempengaruhi anak – anak dibawah umur yang dicantumkan dalam laporan ini. Mayoritas paten tersebut berasal dari perusahaan yang dituntut dan perusahaan lainnya seperti Sony, Disney, Hasbro, dan sebagainya.
Sementara itu, pada tahun 2019, World Health Organization (WHO) menganggap ‘Kelainan Gaming’ sebagai penyakit resmi dan WHO sendiri juga menghindari penggunaan kata adiksi terhadap video game.
Hingga berita ini diangkat, masih belum ada pernyataan resmi dari pihak – pihak yang dituntut perihal adiksi video game ini. Persidangan kasus ini juga masih belum dimulai oleh pihak – pihak terkait.
Baca juga informasi menarik lainnya terkait Berita atau artikel lainnya dari Javier Ferdano. For further information and other inquiries, you can contact us via author@gamebrott.com