7 Game Lebih Buruk dari Ekspektasi Gamer

Game Lebih Buruk

Game Lebih Buruk dari Ekspektasi – Publisher dan developer akan mencoba sebisa mungkin untuk presentasikan game mereka terlihat menarik untuk dimainkan. Mau itu lewat visual, skenario gameplay yang apik, atau juga premis yang menjanjikan.

Tetapi dari waktu ke waktu, publisher gagal lakukan hal tersebut dan justru perlihatkan game dalam kondisi yang kurang optimal, atau juga konsep dari game itu terdengar tidak menarik sama sekali.

Hal ini mengundang ekspektasi buruk dari gamer dan mereka merasa yakin bahwa game yang ditunjukan akan mendapat skor buruk pada rilis nanti.

Game-game berikut ini tidak mengundang rasa optimistik dari gamer dan justru hadir dalam kualitas yang lebih buruk dari yang diprediksi.

Disclaimer: Artikel ini tidak ada maksud mencela atau menjelek-jelekan game-game yang ada di list. Semua konten dan opini yang ditulis berdasarkan pendapat dan resepsi dari gamer serta mayoritas kritikus.

Game Lebih Buruk dari Ekspektasi Gamer

Game Lebih Buruk dari Ekspektasi Gamer

Berikut ini 7 game yang lebih buruk dari ekspektasi gamer:

1. The Lord of the Rings: Gollum

The Lord of the Rings: Gollum

Ketika mendengar IP Lords of the Rings, bermain sebagai Gollum/Smeagol menjadi hal yang paling tidak diinginkan oleh fans. Maka ketika Daedalic Entertainment umumkan mereka kembangkan game berbasis karakter menyedihkan tersebut, gamer hanya dapat merasa bingung.

Game dirilis setelah ditunda selama 18 bulan, dan tampaknya penundaan lebih lama lagi masih diperlukan karena game dipenuhi dengan masalah teknis dan juga implementasi gameplay yang tak rapi.

The Lord of the Rings: Gollum dapatkan resepsi sebagai game buruk dari kritikus, menjadi tertawaan content creator, dan membuat Daedelic Entertainment memutuskan tutup divisi development internal di perusahaan mereka dan sepenuhnya fokus di sektor publishing.

2. Fast and Furious Crossroad

Fast and Furious Crossroad

Fast and Furious dibuat game balap sebenarnya bukan ide buruk. Dengan film miliki banyak adegan dan skenario yang dapat ditranslasikan sebagai level balap, banyak potensi yang dapat digali dari film Vin Diesel itu.

Namun ketika Fast and Furious Crossroads diperkenalkan sebagai pengumuman penutup The Game Awards 2019, gamer hanya dapat merasa skeptis. Visual yang dianggap seperti game PS3/Xbox 360 menjadi red flag bagi gamer untuk hindari game tersebut.

Tetapi keterlibatan Slighty Mad Studios, developer dari Project Cars memberi sedikit harapan untuk mematahkan ekspektasi buruk gamer. Yap, hal tersebut tidak terjadi. grafis buruk, kontrol yang kaku, voice acting yang tidak konsisten, dan berbagai mekanik outdated lainnya membuat game tersebut menjadi salah satu game terburuk tahun 2020 lalu.

3. Redfall

Redfall

Arkane Studio menjadi ahlinya ketika menggarap game single-player dengan elemen enviromental storytelling dan juga desai level yang memberi kebebasan kepada pemainnya.

Namun ketika studio yang sama mendadak mencoba ikuti tren pasar dengan game FPS fokus co-op dan juga elemen live service, rasa skeptis pun wajar muncul bahkan oleh fans terbesar studio tersebut.

Genre yang sudah oversaturasi, ide yang klise, dan juga minimnya promosi gameplay yang perlihatkan “DNA” Arkane membuat gamer khawatir dan kecurigaan itu pun terungkap ketika game rilis.

Redfall menjadi downgrade dari game terdahulu studio tersebut di segala aspek mulai dari AI yang tak sepintar dulu, jalan cerita yang tidak menarik, presentasi cerita yang kebanyaknya hanya lewat gambar statik, gunplay kurang memuaskan, serta dunia yang kosong.

4. Resident Evil: Umbrella Corps

Resident Evil: Umbrella Corps

Resident Evil menjadi populer dan disenangi fans karena elemen horor, karakter yang ikonik, dan eksplorasi lokasi yang memorable. Apa jadinya ketika Capcom menggarap game tanpa semua elemen tersebut dan juga mengusung genre tactical shooter fokus multiplayer?

Umbrella Corps dipandang gagal di semua aspek, gunplay membosankan, animasi terlihat kaku, level terlihat datar, dan juga jumlah konten begitu sedikit. Game ini hanay dapatkan 400 pemain pada saat rilis sebelum anjlok menjadi satu digit dalam waktu kurang dari satu minggu.

5. Fallout 76

Fallout 76

Bethesda terkenal akan merilis game RPG penuh konten yang adiktif dengan jalan cerita serta quest yang menarik untuk ditelusuri. Tetapi studio yang sama juga dikenal akan merilis game penuh dengan bug sampai-sampai harus diatasi oleh modder.

Maka ketika Fallout 76 diumumkan sebagai game live service yang butuhkan koneksi online yang tak didukung konten modding, ekspektasi gamer pun menurun drastis.

Masalah teknis yang kamu harapkan dari game Bethesda kembali muncul di Fallout 76, tetapi dengan skala yang lebih parah dan juga tak ada modder yang dapat memperbaikinya.

6. Saints Row Reboot

Saints Row Reboot

Saints Row menjadi salah satu game yang mencoba melawan popularitas Grand Theft Auto. Franchise ini berawal mengusung konsep yang sama akan gangster dan sindikat kriminal sebelum menjadi nyeleneh lewat humor dan juga alien yang dibawa pada seri keempat.

Volition tampaknya ikut menyadari kalau franchise tersebut sudah kelewatan batas dan terlalu melenceng dari identitas awal seri tersebut hingga memutuskan untuk membuat reboot.

Namun sayangnya respon gamer khususnya fans seri ini tergolong negatif ketika studio perlihatkan tampang baru Saints Row yang dianggap “terlalu woke“. Tetapi hal itu tidak seberapa dengan realita yang terjadi di versi rilis.

Game dipenuhi masalah teknis, banyaknya fitur yang hilang atau tidak seasik dulu, serta penulisan dan karakterisasi yang cringe di mata gamer. Kritikus pun setuju akan komplain tersebut, membuat reboot itu mendapat skor buruk oleh banyak publikasi media.

7. Diablo Immortal

Diablo Immortal

Insiden pengumuman Diablo Immortal berserta sesi QnA di Blizzcon 2018 menjadi salah satu momen tak terlupakan di industri game dalam satu dekade terakhir. Ketika diumumkan Diablo Immortal adalah spinoff game mobile, fans yang mengunjungi event tahunan dari Blizzard itu langsung emosi.

Bagaimana tidak, mayoritas fans dari franchise ini datang dari PC yang notabene jarang menyentuh game mobile. Pasar mobile juga dipandang tak lebih dari sekedar cashgrab lewat bisnis microtransaction-nya.

Maka fans hanya berekspektasi game ini akan jatuh dalam kategori serupa, sebuah spinoff mobile penuh dengan microtransaction pay-to-win.

Tebakan gamer menjadi benar pada saat game rilis, tetapi tak disangka bakal lebih parah lagi. Diablo adalah game yang di mana fondasi gameplay berada pada repetisi memasuki dungeon, dapatkan loot lebih baik, ulangi proses yang sama hingga kuat.

Ketika repetisi ini dibatasi karena kamu harus “nge-gacha” untuk dapatkan loot di akhir dungeon, maka apa arti dari grinding game tersebut.

Hal ini membuat konten PVP atau bahkan PVE bukanlah tentang siapa yang paling lama dedikasikan waktu bermain dan jago dalam min-max skill, melainkan siapa yang paling banyak gesek kartu.


Baca pula informasi Gamebrott lainnya tentang Game Terbaik beserta dengan kabar-kabar menarik lainnya seputar dunia video game dari saya, Muhammad Maulana. For further information and other inquiries, you can contact us via author@gamebrott.com

Exit mobile version