Menjadi seorang gamer beberapa tahun belakangan memang layaknya seorang cowok, selalu aja salah. Berkaca dari scene industri game di Luar negeri yang terbilang lebih maju atau lebih berfikiran terbuka gak juga membuat paradigma semacam ini luntur dilingkungannya. Mulai dari game yang dianggap sebagai penyebab kekerasan hingga yang paling ekstreme bahwa game merupakan alasan penembakan massal juga kerap di iyakan.
Daftar isi
Gak diluar Gak Didalem…
Tapi ya mending ngurusin negara sendiri yakan, daripada ngerecokin negara lain. Meskipun kayaknya terlihat sama saja keadaanya. Banyaknya bertebaran gangguan kesehatan akibat game langsung secara latah diamini oleh banyaknya netizen. Meski akhirnya semua dikonfirmasi tak benar atau banyak penelitian berkata sebaliknya, tapi justifikasi terhadap game tetap marak terjadi.
Terutama bagi kita yang mau tak mau harus berada di grup Whatsapp atau komunikasi keluarga, berita negatif tentang bahaya suatu game pasti akan langsung disebarkan dengan kilat. Layaknya hoaks Pilpres, berita apapun yang dikemudian hari berusaha mengklarifikasi ataupun fakta lain yang berbeda kayaknya gak menarik lagi deh. So kita yang kerap waktu terlihat bersantai memainkan game, mau tak mau juga musti Suck it up.
Beda Dulu Beda Sekarang..
Emang sih feel-nya beda, dimana biasanya kita baru bisa merasakan game di usia remaja, berbeda dengan calon penerus kita yang dari usia belia udah dimanjakan dengan konten-konten teknologi seperti game ataupun Youtube. Tapi gak jarang juga hal tersebut terjadi, juga karena memang lingkungan sekitar kita acuh terhadap fakta bahwa konten semacam itu memang baru pantas diakses oleh kita yang memang sudah remaja atau dewasa.
Adanya badan rating untuk menanggulangi itu atau himbauan bahwa minimal anak berumur 16 tahun baru boleh menginstall game populer PUBG Mobile terlihat kayak tembok transparan. Mudahnya orang tua memberi kebebasan akses gawai juga sedikit bikin kaget sih sebenarnya. Berbeda dengan kita waktu kecil dimana kebanyakan dari kita baru boleh bermain game pada weekend atau saat kita meraih prestasi tertentu, sehingga membuat game goal motivasi tersendiri. Namun kayaknya sekarang hal merepotkan semacam itu tak diterapkan disemua keluarga.
Siapa yang Salah Dong?
Tapi ya ktia gak bisa 100% nyalahin peran orang tua disini, orang siapa sih yang mau capek-capek ngebaca term of service saat register Facebok, atau meng-klik agree dalam aturan sebuah game, kita juga pasti males banget membacanya. So kita gak bisa maksa orang tua untuk melakukan hal yang kita anggap sepele, siapa tahu mungkin hal seperti itu emang sulit buat mereka layaknya aturan sebuah game.
Lucunya fakta nyata bahwa game dijaman modern ini bukan cuman alat pemompa hormon endorfin, kayaknya gak jadi bahasan menarik deh. Banyaknya lapangan kerja baru yang digantungkan banyak individu, serta prestasi yang ditorehkan bagi orang lain juga ada sebenarnya. Mulai dari hal besar seperti atlet Esport yang mampu mengharumkan nama Indonesia di luar negeri dengan hobinya, hingga yang terkecil seperti para kami para penulis konten yang juga menggantungkan nasibnya dari hobi orang-orang dalam bermain game, sebenarnya jadi bukti bahwa game kayaknya punya sisi baik.
Tapi kalo inget peran pelaku Esport yang berjuang mati-matian membuat game ini-itu bisa memiliki tempat di mata pemerintah dan masyarakat, bisa langsung dipatahkan dengan berita hoaks isu bahwa suatu game menyebabkan kekerasan atau berimbas sangat buruk bagi generasi (hingga kini pembahasannya cuman menguap entah kemana). Kayaknya emang ada beda pandangan deh.
Suck It Up.
Tapi kayaknya utopia dimana orang tua mengawasi anak atau memberikan batasan kebebasan dalam mengakses konten-konten game atau hiburan, juga para calon penerus bangsa yang harus bermain lebih mengenal waktu dan bertanggung jawab sepertinya cuman jadi impian saja. Karena ya mau gimana lagi, nyalahin suatu objek yang gak bisa membalas, jauh lebih gampang dan asyik. Usaha orang lain dibelakangnya mah cuman akal-akalan kapitalis atau kelompok yang menghalalkan perusakan generasi muda demi duit.
Tapi ya siapa sih aku? paling juga cuman budak kapitalis yang saraf atau pikirannya udah rusak karena game. So aku cuman perlu Suck it up aja deh.
Membaca konten-konten menarik lainya kalian bisa buka Opini atau G-List buat kalian yang tertarik baca.