Halo sobat-sobatku yang super, ah maaf copyright. Halo sodara-sodara pembaca sekaligus penikmat video game di Indonesia yang mungkin kebetulan nemu dan membaca artikel ini di tahun berapapun. Setelah sekian lama saya tidak menulis opini, akhirnya hari ini saya memberanikan diri… maksud saya meluangkan waktu untuk menulisnya. Hal ini karena menurut saya akhir-akhir ini dunia video game cukup aman dan tentram sehingga saya jarang nulis artikel jenis ini. Setidaknya, sejak drama Epic Games yang sebenernya menurut saya ga penting juga ditulis jadi opini, tapi karena suatu hal saya tulis juga.
Namun karena terdapat hal yang cukup menggelitik akhir-akhir ini, pada akhirnya saya nulis juga.
Tapi sebelum kita lanjut lebih dalam, sebaiknya kamu jangan emosi dulu bilang “YAIYALAH GA RELEVAN BAMBANG!” setelah baca judul di atas. Lagian nama saya Akbar bukan Bambang, siapa sih yang nulis Bambang?
Oke, itu cringe, saya tau, tapi izinkan saya jelasin lebih detil akar dari permasalahan ini yang menggelitik jari jemari saya untuk menuangkan pendapat. Mungkin kalian sudah tahu bahwa akarnya adalah sebuah narasi yang baru saja menerjang salah satu game Naughty Dog, The Last of Us Part II. Ironisnya, narasi ini merembet ke komentar ampas lain yang seolah percaya bahwa mereka bisa dengan seenaknya mereview video game hanya dengan menonton video di YouTube.
Memberikan cap bahwa gamenya ampas hanya karena orang-orang ini tersinggung dan berani memberinya nilai 0 atau mungkin 2-3 terhadap gamenya, setelah nonton doang di YouTube. Karena YouTube lebih dari TV.
Fenomena tersebut sebenarnya sudah lama sekali terjadi, namun puncaknya adalah saat salah satu game ambisius Naughty Dog yang berusaha untuk menyentil masalah yang dibenci menjadi game yang dibenci. Padahal, belum tentu mereka yang bilang jelek memainkannya. Atau bahkan ngga sedikit bocah-bocah pintar lokal yang percaya begitu saja setelah nonton di YouTube, “memahami” pendapat bule, dan seterusnya.
Nggak, saya ngga akan bahas reviewer dibayar dan sebagainya karena saya bisa jamin bahwa reviewer baik di media game lokal maupun luar negeri itu ngga dibayar. Selebihnya kamu bisa membaca artikel jurnalis game Indonesia yang tentunya kamu tahu siapa untuk penjelasan lebih lanjut.
Ngereview game dengan cuman nonton di YouTube ini, membawa saya bertanya pada diri sendiri melalui sebuah pertanyaan bodoh di atas, yang sebenernya sudah pasti jawabannya yakni, “EMANG NGGA RELEVAN” seperti yang dikatakan oleh seseorang kepada seseorang bernama Bambang di atas. Alasannya?
Video Game adalah Hiburan Interaktif
Melakukan review game itu bukan sesuatu yang bisa dibilang mudah karena reviewer wajib memainkan gamenya dan berikan pendapat tentang gamenya agar bisa jadi referensi pembaca atau penonton. Hal ini jelas karena sifat video game itu sendiri yang termasuk dalam hiburan yang interaktif. Memang, ada pengecualian pada game sekelas game Telltale, kalo yang ini saya nyaranin kalian untuk membelinya karena cerita adalah poros utamanya.
Namun selebihnya, video game adalah hiburan yang interaktif. Dengan kata lain, pengalamanmu memainkan, mengeksplorasi, dan memanipulasi fiturnya tidak akan bisa kamu rasakan dan nikmati secara penuh tanpa memainkannya sendiri. Inilah salah satu faktor yang membuat skor review atau review positif/negatif satu reviewer dengan reviewer lain berbeda.
Kamu ngga bisa bilang gamenya jelek cuman karena nonton gameplaynya di YouTube. Karena bisa aja gamenya emang bukan seleramu. Reviewer bisa dikatakan kredibel jika ia memang telah benar-benar memainkannya. Kasusnya sama kayak nentuin orang dalam yang bocorin informasi video game kredibel atau tidak. Mereka bisa dikatakan kredibel karena ia miliki koneksi orang dalam, hingga bocorannya selama beberapa tahun terakhir terbukti benar.
Sudah sewajarnya kalo kamu mainin gamenya dulu baru kamu review dibanding harus nonton orang lain main gamenya di YouTube. Biar bisa nyicipin semuanya, gimana rasanya ngontrol Crash di Crash Bandicoot misalnya, atau mungkin ngerasain sendiri megahnya musik Dark Souls III saat lawan Nameless King.
Nonton doang gak akan bikin pengalamanmu imersif sama sekali, nonton doang juga ngga bakal bikin kamu bisa nyobain hal-hal yang bikin kamu penasaran sama gamenya. Misalnya jelajahin lautan, nyari rahasia batu karang, susahnya nyari bos rahasia, menikmati side quest yang kocak, penuh fanservis atau sampe cara ngalahin monster tertentu dengan berbagai kesulitannya.
Saya pribadi akan selalu penasaran untuk mencoba hal aneh yang muncul di otak saya ketika mereview video game. Entah menggunakan kombinasi party yang berbeda di game RPG selain standar tank, healer, attacker/assassin. Hingga mencoba sesuatu yang cukup aneh sampai akhirnya secara tak sengaja menemukan rahasia atau bug tertentu yang ada dalam gamenya. Terkadang saya juga membagikannya melalui review yang sekali lagi ngga bisa kamu dapetin dengan hanya menonton gameplaynya saja.
Review Itu Paduan Subyektif, Obyektif, dan Pengalaman
Selain itu, reviewer perlu memperhatikan tiga poin penting yang diawali dengan dua poin penting, yakni subyektif dan obyektif. Kedua poin tersebut hanya bisa diutarakan jika kamu memainkan gamenya.
Kalo kamu ngga tau apa itu subyektif dan obyektif, simplenya obyektif adalah sesuatu yang benar-benar ada dalam gamenya. Misalnya saja fitur save/load, equipment, mekanik gameplaynya, dsb. Ibarat beli kemeja ada kancingnya, ada kantongnya, sama ada coraknya atau warna kainnya. Sementara subyektif merupakan pendapat pribadimu, kenapa kamu tak menyukai gamenya atau menyukai gamenya. Kalo diibaratin dengan baju lagi, kamu ngga demen bajunya karena warnanya kayak sempak firaun misalnya. Atau pas dipake malah bikin ngga nyaman, entah panas dan kudis.
Tapi ya seperti yang saya bilang di atas, kamu gabisa bilang gamenya jelek kalo emang ga sesuai seleramu. Misalnya saja kamu ga demen game semacam Dragon Quest XI dan cuman demen shooter, ya ngga bisa bilang gamenya buruk dengan alasan tersebut. Kamu harus memberikan sebuah pendapat yang membuatmu menyukai atau tidak menyukainya. Bukan karena seleramu berbeda atau cuman karena tampilan visualnya buruk makannya kamu bilang jelek.
Pengalaman dengan mencobanya langsung daripada menontonnya di YouTube juga membuatmu bisa membandingkan dengan beberapa game di masa lalu yang pernah kamu mainkan. Misalnya aja kamu pernah main game kayak Dragon Age, di mana gamenya ngga punya mekanik weight limit. Terus mendadak kamu mainin game kayak The Witcher yang inventorynya terbatas, weight limit yang konstan, hingga merepotkanmu. Ini contoh lho ya bukan representasi dari kenyataan yang ada dalam gamenya. Anggap saja begitu.
Dari sini kamu bisa berpendapat apakah Dragon Age atau The Witcher itu menurutmu ampas atau engga dengan beberapa alasan rasional. Misalnya saja weight limit yang ada tadi bikin manajemen inventory kacau, dan sebagainya. Poin inilah yang menarik bagi setiap orang untuk membaca atau menonton reviewmu.
videogamedunkey memang terkadang mereview dengan caranya, namun sepenuhnya ia selalu melakukannya dengan memberikan pendapat pribadinya sembari mengocok perut para penontonnya.
Ini yang ngga bisa kamu dapetin dari cuman nonton YouTube. Pendapatmu sebagai “reviewer” menjadi tidak kredibel. Udah nyobain belom kok bisa bilang begini di reviewnya? Padahal aslinya ngga begini dan seterusnya. Beberapa aspek akan seringkali miss ketika kamu cuman nonton dan seolah tau segalanya. Atau mungkin kamu berusaha menceritakan tokoh A namun salah besar karena penjelasanmu salah. Akibat apa? Nonton sesuatu yang lebih dari TV dong!
Meskipun, sebenernya emang ngga salah juga buat menilai suatu game hanya dari menonton YouTube. Selama hal tersebut hanya untuk kamu sendiri aja, atau mungkin kamu posting entah di manapun, sebagai pendapat orang yang ngga mainin gamenya. Kecuali kamu telah memantapkan diri dan memutuskannya untuk menilai dan mereviewnya bagi orang banyak yang mungkin belum pernah memainkan atau membelinya. Apalagi, jika pendapatmu itu dibaca sama mereka yang udah main. Bisa malu-maluin sih.
Yes, freedom of speech itu ada. Tapi karena sifat game sebagai hiburan interaktif, menjadikan reviewmu yang belum pernah mainin gamenya dan cuman nonton di YouTube sebagai sesuatu yang relevan itu ngga bisa. Pada akhirnya reviewmu ya pendapatmu aja. Tapi jadi kurang kuat karena kamu ngga mainin gamenya dan cuman baca pengalaman orang lain aja. Sembari membayangkan, gimana rasanya mainin gamenya. Nuansanya jadi kayak miskin banget ye kan?
Terus, Gimana Dong Kalo Pengen Ngereview Game Biar Relevan?
Pada dasarnya sih ya mainin gamenyalah. Kalau kamu masih bertahan ingin nonton YouTube dan menulis reviewnya atau mungkin copy paste dari media atau reviewer lain. Maka sejujurnya kamu bukan reviewer yang kredibel. Kasarnya kamu bukan orang yang pantas disebut reviewer. Namun itu semua akan menjadi keputusan yang suka-suka. Karena sejujurnya saya pribadi ngga ada hak buat nyuruh-nyuruh kamu buat ngga melakukannya.
Sekedar mengingatkan.
Selalu tanamkan pada kepalamu bahwa review itu miliki tiga aspek penting dari subyektif, obyektif, dan pengalaman. Kalau kamu ngga berpengalaman dari yang paling minim aja deh, yakni mainin gamenya gimana kamu bisa ngasih pendapat yang subyektif?
Tanamkan juga di pikiranmu bahwa melakukan review bukan harus pintar mencari kesalahan. Ngga itu salah besar. Karena review adalah pendapat pribadi dan bukan menjadi pakem yang harus diikuti semua orang untuk menggunjing gamenya memiliki banyak kesalahan. Ini review bos, bukan perkumpulan emak-emak tukang gibah.
Sejatinya kamu ga bisa bilang, “Jelek banget gamenya, masa temboknya begini” dsb padahal pada kenyataannya ngga ada masalah, tanpa adanya alasan yang berbobot, valid, dan diterima baik developer yang mungkin pada nantinya membacanya atau orang lain. Itu hanya pure hate dan ignorance bukan pendapat. Terlebih jika gamenya ternyata bukan jadi seleramu.
Banyak cara buat review, salah satunya seperti yang dilakukan gameranx.
Banyak banget cara buat review dan patternnya saya serahkan pada dirimu masing-masing. Namun jika kamu memang benar-benar ingin memberikan review yang relevan, kamu wajib memainkannya. Karena guru yang terbaik adalah pengalaman… ngga gitu juga sih, cuman setidaknya kalian tau seluk beluk gamenya dari mencobanya sendiri.
Dengan begitu kalian akan bisa memberikan pendapat pribadi kalian sesuai dengan yang kalian dengar, alami, dan rasakan. Karena review semata-mata adalah suatu cara untuk mengetahui pendapat orang lain dan seperti apa game yang tengah kamu incar untuk dibeli tersebut. Memberikan pembaca atau penonton sebuah insight di mana ia bisa mempertimbangkan apakah gamenya sesuai seleranya atau tidak. Mungkin ada sesuatu yang miss yang bisa saja terjadi saat melakukan review. Namun hal tersebut sering terjadi dalam kegiatan tersebut dan bukan menjadi masalah yang perlu dibesarkan.
Kesimpulannya sudah jelas, review yang relevan adalah ketika kamu benar-benar memainkan gamenya. Review game dari nonton YouTube? Ke laut aje. Gimana menurutmu? Apakah kamu setuju jika review game melalui nonton gameplay orang lain di YouTube bisa dikatakan kredibel, relevan, dan valid? Atau sebaliknya?