Potret komunitas gamer Indonesia di awal tahun 2019 lagi-lagi diwarnai kembali oleh sebuah kontroversi. Munculnya petisi tentang bentuk protes netizen akan konten-konten clickbait dewasa yang telah disodorkan Kimi Hime telah sukses mengangkat kembali namanya di jagat perbincangan dunia maya. Alhasil, perdebatan sengit para netizen yang selalu mengiringi baik itu mengenai kebebasan hak untuk berkarya hingga kekhawatiran akan moral generasi muda di bawah pengaruh konten Kimi adalah bumbu-bumbu utama yang menjelaskan seriusnya permasalahan ini.
Lewat bentuk pro dan kontra yang sudah terjabar menurut perspektif mereka masing-masing, ada satu fokus yang sebenarnya tidak kalah menarik ketika kita menyaksikan apa atmosfer baru yang sekiranya telah Kimi bawa terhadap dunia gaming Indonesia sekarang. Tak lama setelah petisi yang pertama kali dibuat oleh netizen bernama Arik Setiawan itu mengudara, beserta lengkap dengan jumlah puluhan ribu tanda tangan yang jumlahnya selalu naik dari waktu ke waktu, fenomena Kimi Hime dan “petisi” ini akhirnya juga telah mengundang perhatian dari sesama influencer wanita Indonesia di komunitas video game seperti Franzeska Edelyn. Beliau ikut angkat bicara dan menyampaikan aspirasi yang menurutnya perlu untuk dipahami.
Melalui status pribadinya di Facebook, Edelyn adalah pihak yang termasuk kontra terhadap keberadaan konten-konten “clickbait” tak senonoh Kimi Hime dan sangat mendukung sekali munculnya petisi yang bisa memberi kontrol sosial atas fenomena ini. Poin utama yang ingin dirinya sampaikan adalah ia sama sekali tidak mau bila kebiasaan mengeluarkan kata-kata menjurus pornografi di hadapan para streamer, khususnya wanita seolah telah dianggap lazim bagi perkembangan komunitas gamer di Indonesia. Karena Edelyn sendiri di dalam kolom komentar statusnya juga mengaku sempat mendapat DM/PM yang tak pantas dari orang-orang tak dikenal yang ironisnya masih berada di bawah umur.
Status Edelyn yang akhirnya viral tersebut juga mengundang banyaknya ruang diskusi. Ada yang 100% setuju, dan ada pula sebagian yang memberi semacam sanggahan atas pendapatnya. Yang patut diperhatikan, keresahan yang dialami Edelyn ini rupanya tidak hanya dirasakan oleh dirinya seorang. Ada beberapa gamer wanita lain yang memberikan komentar bahwa mereka juga mulai semakin sering mendapat perlakuan serupa, beserta dengan ungkapan kekhawatiran tentang stigma wanita di hadapan komunitas para gamer.
Daftar isi
Ada sebuah perspektif menarik ?
Ya, sebuah keadaan yang pastinya cukup pahit sekali untuk dirasakan oleh mereka. Namun, dibalik banyaknya bentuk dukungan, keprihatinan, keresahan yang sama-sama dialami, hingga beragam opini-opini ketidaksetujuan atas status Edelyn di atas, ada satu komentar bernada asumtif menarik dari salah seorang netizen tentang apa yang mungkin telah menjadi sumber masalah selain dari subjek, objek, dan predikat yang kerap kali dibahas.
Selain dari komentar di atas, ada juga yang “positif thinking” berspekulasi bila Kimi Hime bertindak dengan gimmick clickbait menjurus hal-hal berbau se*sual tersebut atas dasar alasan hutang, desakan sponsor, dan lain-lain. Akan tetapi, masih terlalu spekulatif apabila kita beranggapan seperti itu karena tak cukupnya bukti yang dapat menguatkan, kecuali untuk komentar “unik” dari sang netizen yang saya pribadi sebutkan ini.
Pernyataan yang kurang lebih berisikan; “berpenampilan tertutup ataupun terbuka tetep aja dikomenin jorok” pernah dikonfirmasi secara langsung oleh yang bersangkutan di salah satu videonya dan seolah memang menjadi alasan utama yang membuat Kimi Hime tiba-tiba merubah citranya seperti sekarang. Lalu mengenai prinsip yang dikatakan bahwa dia dulunya sangat begitu sensitif dan selalu berusaha menjadi yang terdepan dalam melawan beragam tindak pelecehan yang ada, itupun juga sudah diiyakan oleh orang-orang yang telah mengenal Kimi Hime sejak lama. Salah satunya berasal dari komentar-komentar teratas di link petisi yang sedang viral tersebut.
Lalu apa poinnya ? Jika asumsi netizen ini benar, hal tersebut justru malah merupakan sebuah TAMPARAN keras untuk kita semua yang telah terlibat di lingkungan ini. Sebelum Kimi bertransformasi menjadi seperti sekarang, tindak bullying ataupun pelecehan rupanya masih tetap terpelihara secara subur. Dimana secara tak langsung, fenomena ini malah menandakan bahwa Kimi Hime sebenarnya juga adalah salah satu korban selain dari Edelyn dan para streamer-streamer wanita lainnya.
Seperti yang telah dijelaskan secara terperinci oleh sang netizen tersebut, proses perubahan sikap atau sifat secara ekstrim yang berasal dari beragam perlakuan-perlakuan tak terpuji adalah hal yang sangatlah bisa saja terjadi kepada siapapun, di manapun, dan dalam waktu yang kapanpun. Semuanya itu benar-benar bergantung dari bagaimana kondisi psikis atau mental yang sedang dialami oleh si penerima. Untuk memperjelas, Kimi Hime mungkin selama ini telah sangat lelah dalam menangkal segala bentuk pelecehan “tubuh” yang selama ini selalu ditujukan kepadanya. Dimana dengan bertubi-tubinya bentuk ejekan yang terlontar meski di saat ia benar-benar sedang berpenampilan secara layak, nilai prinsip yang ia perjuangkan tentang martabat seorang Wanita lama kelamaan telah menjadi luntur dan hanya berkesan sebagai sebuah kesia-siaan.
Yang sudah terlanjur terjadi
“Jadi Kimi Hime ini maksudnya nggak salah gitu ?” Realita pahitnya, Kimi Hime sudah berperan dalam melahirkan kembali para bibit-bibit peleceh baru di suatu wujud yang berbeda karena pusat konten dan platform yang ia sasar nyatanya betul-betul sangatlah umum untuk dikonsumsi oleh banyak lapis usia. Sehingga dalam hal ini, telah saya katakan bahwa nasi sudah terlanjur berubah menjadi bubur.
Lantas, bagaimanakah kita harus menyikapi fenomena drama yang memang runyam ini ? Cobalah kita analogikan hal yang telah terjadi kepada Kimi Hime tersebut selayaknya kisah di dalam Resident Evil. Seperti yang kita ketahui, Resident Evil merupakan game yang menceritakan tentang riwayat perjuangan sekelompok manusia dalam sudut pandang yang berbeda-beda di tiap serinya untuk bertahan hidup dari wabah zombie atau mahluk-mahluk bio-organik yang menyeramkan. Kamu pun di sana akhirnya juga tahu bahwa zombie dan mahluk monster yang mengancam tersebut lahir dari sebuah virus berbahaya yang dikembangkan oleh suatu perusahaan tertentu.
Khusus pada kasus Kimi Hime, virus zombie dapat diibaratkan seperti selayaknya sebuah bentuk budaya bobrok atau kebiasaan buruk manusia yang bisa dengan mudahnya melontarkan beragam kata demi kata yang bisa sangat begitu menyakitkan buat orang lain. Sedangkan untuk Kimi Hime sendiri…….. sudah bisa kalian bayangkan bukan apa yang dapat teribaratkan dari perannya ? Sebagai kisi-kisi, cukup familiarkah kamu dengan monster di seri Resident Evil 6 yang bernama Lepotitsa ?
Di Resident Evil, meski keberadaan para zombie ataupun monster selalu digambarkan sebagai pihak yang tidak memiliki harapan untuk bisa kembali seperti semula, hampir seluruh karakter protagonis di game tersebut malah selalu menyimpan sebuah tekad bila mereka sama sekali tak pernah lelah untuk berupaya mengembalikan kesadaran yang telah hilang di jiwa mereka. Lalu tak ketinggalan dengan adanya usaha preventif agar wabah infeksi tersebut tidak lagi terulang untuk kedua, ketiga, hingga ke ratus-ratus sekian kalinya demi keselamatan umat manusia. Apakah semangat yang dibawa oleh tokoh-tokoh di game buatan Capcom ini bisa ditularkan atau diaplikasikan secara positif untuk kalian ?
Buat kalian yang sedang sibuk berdebat tentang petisi ataupun pentingnya pengawasan orang tua, cobalah untuk saling menyepakati dan sadar bahwa segala tindakan bentuk pelecehan adalah hal yang tidak pernah dibenarkan dalam kondisi apapun. Dampak yang bisa ditimbulkan dari tindak melecehkan seseorang apalagi jika ditujukan untuk lawan jenis sangatlah terlalu berkesan negatif ketimbang positif, terutama dalam potensi untuk memunculkan kembali bakat-bakat peleceh baru dan tragedi Kimi-kimi yang selanjutnya.
“Tapi-tapi…….. kalo si Kimi kan emang dia sendiri yang minta buat pengen digitu..” Entahlah, bila kalian merasa sangat menjunjung tinggi moral dan norma di atas segala-galanya, tentu kalian bisa cukup pintar untuk memfokuskan diri kepada sebuah solusi agar sang subjek bisa secara baik-baik menerima untuk sadar ketimbang melakukan apa yang ia “minta” saat ini. Karena apa bedanya kamu dengan dia, atau dengan manusia yang sudah terkena gas virus dari Lepotitsa ? Sama-sama sudah berperan sebagai pihak yang telah mengimplikasikan suatu hal buruk secara harafiah bukan ?
Jadi, sekarang bagaimana ?
Apapun hasil solusi yang memang sedang diupayakan oleh para pihak yang menginginkan adanya iklim baik di komunitas dunia game Indonesia, ketahuilah bahwa budaya saling “melecehkan” telah mengambil banyak peran dalam mengubah tabiat manusia, baik itu dari sisi yang dilecehkan maupun yang melecehkan. Secara pribadi, saya sendiri merasa bila munculnya inisiatif atau kesadaran dari setiap elemen yang terlibat (kita, petisi, edukasi, orang tua, dan Kimi Hime juga) memang akan bisa membantu proses penyelesaian masalah ini berjalan dengan lebih baik.
Setidaknya hal itu bisa pertama kali kita mulai dari kebiasaan untuk memupuk budaya waspada akan bahaya dan ancaman yang dapat ditimbulkan dari sebuah tindak pelecehan. Waspada dalam arti bisa menegur keras para pihak pelaku-pelaku peleceh bahwa perbuatan tersebut adalah tindakan yang sama sekali tidak ada baik-baiknya, ataupun memberi semangat serta harapan kepada para korban pelecehan untuk tetap tegar agar hidup mereka tidak berakhir menjadi apa yang telah dilontarkan oleh si peleceh.
Semoga fokus penjabaran ini bisa menjadi suatu renungan penting agar kalian bisa menilai secara lebih dingin dan bijak akar kontroversi yang sebenarnya terjadi di sekitar dunia pergaming-an Indonesia.