Legend of Legaia – Era zaman konsol PS1 dan PS2 disebut menjadi masa keemasan oleh para penikmat game bergenre JRPG saat itu. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya game JRPG yang ikonik bermunculan di dua konsol tersebut mulai dari akhir 90-an sampai awal tahun 2000-an. Sayangnya, nggak semua JRPG yang rilis pada era emas tersebut punya kejelasan nasib dari franchise-nya sendiri nih, brott. Salah satunya yaitu seri Legend of Legaia.
Kalau kamu lihat langsung gameplay-nya, kamu bisa jadi pernah memainkan game satu ini, brott! Tapi, wajar saja kalau tidak banyak yang tahu tentang game ini. Grafisnya yang kalah menarik dari game-game di kelasnya membuat gamers cenderung untuk memainkan game lain ataupun melupakannya.
Game pertama Legend of Legaia rilis pada tahun 1999 dan Legend of Legaia 2: Duel Saga tahun 2001 pada region Amerika Utara, serial ini bisa dibilang kalah bersaing dengan JRPG lain di rentang tahun tersebut. Salah satu contoh gampangnya, yaitu Final Fantasy VIII (1999), Final Fantasy IX (2000), dan Final Fantasy X (2001) mungkin lebih menarik bagi para gamers. Apalagi grafis 3D mereka yang sudah memasuki kelas advanced pada masanya.
Atau bahkan gamers lebih memilih game dengan grafis 2D yang lebih memanjakan mata seperti Breath of Fire III (1998) atau Grandia (1999). Hal serupa mungkin juga terjadi di kalangan gamers Indonesia. Walaupun penulis justru berspekulasi bahwa kurangnya popularitas game ini menentukan aksesibilitasnya di toko game dan jasa rental PS tanah air pada saat itu.
Daftar isi
Legend of Legaia, Game JRPG Underrated Terbaik yang Termakan Zaman
Dalam artikel kali ini, penulis akan sajikan alasan-alasan mengapa series ini bisa termakan zaman di era bangkitnya JRPG melalui tren remake dan remaster. Poin-poin dalam artikel ini merupakan sudut pandang penulis sebagai gamer berdasarkan kumpulan informasi yang didapatkan terkait seri Legend of Legaia yang mulai jarang diperbincangkan.
Yuk, kita mulai saja pembahasannya!
1. Legaia 2: Duel Saga Tidak Diakui sebagai Sekuel oleh Penulis Utama
Dikembangkan oleh dua studio internal milik PlayStation, Contrail dan Prokion, seri Legend of Legaia hanya bertahan dengan dua game saja, yaitu Legend of Legaia dan Legaia 2: Duel Saga. Walau sama-sama rilis dengan judul utama Legaia, keduanya tidak menunjukkan ketersinambungan plot dan cerita. Sehingga, Legaia 2: Duel Saga tidak bisa dibilang sebagai sekuel dari game pertamanya.
Dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan melalui buku The Untold History of Japanese Game Developers Vol. 3 oleh John Sczepaniak, Hidenori Shibao sang penulis utama Legend of Legaia menyatakan bahwa game kedua dari serial ini tidak ‘dirasakan’ sebagai sekuel. Shibao juga sudah nggak ada campur tangan dalam pembuatan game kedua tersebut, brott.
Legend of Legaia mulanya diproduksi oleh Contrail dan Prokion, lalu diterbitkan oleh PlayStation. Namun, pengembangan Legaia 2: Duel Saga ternyata hanya melibatkan Prokion. Shibao juga bercerita melalui buku tersebut kalau dia diinstruksikan untuk hengkang dari proses pengembangan game kedua.
Jelas saja, Shibao merasa tidak pas dengan game kedua sebagai sekuel karena tidak mendapat arahan langsung oleh beliau yang sejatinya merupakan kreator dari lore Legaia. Beliau juga menyatakan kalau studio pengembang Legaia 2 tidak sepenuhnya mengerti aspek-aspek penting dari game pertama yang seharusnya dihadirkan kembali pada game kedua.
Sebagai player, kamu juga bakal menyadari perubahan-perubahan antara game pertama dan dengan kedua.
2. Grafis yang Kalah Menarik di Zamannya
Seperti yang penulis singgung di awal, mungkin para gamer lebih memilih game dengan grafis 3D atau bahkan 2D yang lebih enak dipandang. Pasalnya, teknologi grafis low-poly kalah talak dengan tipe grafis yang lain. Low-poly memberikan kesan yang sungguh “jadul” di mata para gamer yang terbiasa dengan grafis 3D polygon yang jauh lebih apik.
Berbeda dengan pixel art, sayangnya low-poly hampir tidak diakui sebagai estetika sendiri dalam industri game. Perusahaan game banyak yang mempertahankan kualitas pixel art dalam melakukan remake atau remaster pada game lama, seperti Final Fantasy 1-6 Pixel Remaster, Live a Live, Tactics Ogre: Reborn, dan Suikoden I & II HD Remaster yang akan rilis di 2023.
Hal tersebut dilakukan karena pixel art memiliki fandom yang besar dengan minat yang tinggi terhadap game berbasis pixel. Pixel art sendiri dianggap sebagai grafis yang timeless alias tidak termakan oleh zaman, sedangkan low-poly tidak.
Walaupun game low-poly memberikan sensasi nostalgia, industri game justru lebih memilih untuk merombak ulang grafis low-poly menjadi grafis HD. Hal ini dapat ditemui melalui rilisnya game-game remake atau rendition dari game lama seperti Final Fantasy VII Remake, Tomb Raider (2013), dan Silent Hill 2 remake yang diumumkan Oktober lalu.
3. Studio Developer Sudah Tidak Aktif
Contrail dan Prokion sebagai dua pengembang utama serial ini diketahui sudah tidak aktif mengembangkan game nih, brott. Berdasarkan informasi yang didapatkan, Contrail memproduksi game terakhirnya pada tahun 2000 yang berjudul Tiny Bullets. Sedangkan Prokion masih aktif hingga 2005 melalui game Kenran Butou Sai: The Mars Daybreak.
Dua studio bawahan PlayStation ini sudah lama tidak beroperasi. Salah satu gamer di forum berspekulasi bahwa para developer dari studio-studio tersebut sudah diserap atau diakuisisi oleh perusahaan lain. Nggak ada yang tau pasti, brott.
4. Penulis Utama Sudah Tutup Usia
Hidenori Shibao, penulis dan desainer game veteran asal negeri Jepang ini telah tutup usia pada April 2018 silam. Selain melalui Legend of Legaia, Shibao juga dikenal lebih luas dalam industri game dengan Paladin’s Quest yang beliau garap bersama Asmik Ace Entertainment dan Enix pada tahun 1992.
Dengan sudah berpulangnya sang kreator orisinal dari Legend of Legaia, kecil kemungkinannya bagi para fans untuk mendapatkan kebangkitan serial ini dalam bentuk spiritual successor.
Contoh spiritual successor yang akan rilis pada tahun-tahun mendatang yakni Eiyuden Chronicles: Hundred Heroes sebagai spiritual successor Suikoden series, Penny Blood untuk Shadow Hearts, dan Armed Fantasia untuk Wild Arms series.
5. JRPG Bukan Prioritas Studio Internal PlayStation
Mengingat serial ini dikembangkan oleh dua studio besutan PlayStation, penulis memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam tentang proyek-proyek yang sedang digarap oleh para studio internal PlayStation saat ini. Kabar buruk lalu penulis dapati melalui salah satu publikasi Push Square.
Website resmi PlayStation menampilkan 18 studio internal. Namun, dilansir dari Push Square, PlayStation setidaknya memiliki 20 studio yang sedang mengerjakan proyek eksklusif. Seluruh studio tersebut tersebar di Jepang, Amerika Utara, dan Eropa. Sayangnya, dari artikel Push Square tersebut tidak ditemui proyek game JRPG yang sedang mereka garap per Agustus 2022.
Hal ini didukung dengan pernyataan Akifumi Kaneko, game designer Wild Arms dan Armed Fantasia, melalui wawancara bersama Gematsu. Kaneko mengatakan bahwa JRPG sedang tidak menarik di mata penerbit, di mana beliau sempat menawarkan kerja sama pengembangan game JRPG dengan Sony yang tak kunjung ada jawabannya.
Hal ini membuat penulis yakin bahwa game dengan genre JRPG sedang tidak menjadi prioritas PlayStation. Industri game yang target pasarnya sudah tersegmentasi berdasarkan konsol juga mungkin alasan dibalik keputusan PlayStation untuk tidak mengembangkan JRPG. Pasalnya, Nintendo Switch selaku kompetitor PlayStation semakin dikenal dengan koleksi JRPG yang masif.
Dengan begitu, hanya sebagai sebuah mimpi bagi fans untuk mendapatkan game baru dari seri Legend of Legaia. Tapi, jangan putus asa, brott! Bisa jadi, di masa depan IP dari serial ini dibeli oleh developer lain. Bisa jadi lho, ya.
Mungkin next time, penulis akan buat artikel tentang kerennya serial ini untuk menarik fans baru. Tungguin, ya!
Baca juga informasi menarik Gamebrott terkait game JRPG dan artikel lainnya dari Dimas Ponco. For further information and other inquiries, you can contact us via author@gamebrott.com.